Mari kita lupakan sejenak gonjang-ganjing berita tentang Mbak Susi Mentri yang Nyentrik, Tukang Sate, dan DPR Tandingan. Mari mengingat kembali bahwa 2 hari lagi, pada Sabtu 1 November 2014, harga bahan bakar minyak bersubsidi akan dinaikkan oleh pemerintah Jokowi-Kalla.
Judul tulisan ini memuat singkatan. BBM adalah singkatan dari Bahan Bakar Minyak, sementara MBB singkatan dari Menyengsarakan Banyak Budak. Sehingga jika judul tersebut kita panjangkan akan menjadi Bahan Bakar Minyak Naik Kian Menyengsarakan Banyak Budak. Judulnya mungkin agak lebay, tapi ada pesan yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan penulisan singkatan dalam judul tersebut. Konsen saya dalam tulisan ini adalah ingin mengulas seberapa besar pengaruh kenaikan BBM bagi masyarakat banyak.
Sebelum melanjutkan membahas judul tersebut, saya mencoba mengawali tulisan ini dengan menengok terlebih dahulu Data BPS tentang Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang dari Penduduk Indonesia pada periode September Tahun 2013. Pendapatan per kapita negara kita masih relatif lebih kecil dibandingkan negara lain di ASEAN semisal Malaysia. BPS memuat 2 (dua) kategori utama kelompok barang yang dikonsumsi oleh penduduk, yakni barang konsumsi berupa makanan dan bukan makanan. Yang termasuk dalam kategori konsumsi makanan diantaranya adalah Padi-padian, Umbi-umbian, Ikan, Daging, Telur dan susu, Sayur-sayuran, Kacang-kacangan, Buah-buahan, Minyak dan lemak, Bahan minuman, Bumbu-bumbuan, Konsumsi lainnya, Makanan jadi, Minuman beralkohol, dan Tembakau atau sirih. Sementara yang ermasuk dalam kategori konsumsi bukan makanan, diantaranya adalah Perumahan dan fasilitas rumahtangga, Barang dan jasa, Pakaian, alas kaki dan tutup kepala, Barang-barang tahan lama, Pajak dan asuransi, serta Keperluan pesta dan upacara.
Menurut BPS, persentase masing-masing barang yang dikonsumsi oleh penduduk Indonesia pada Bulan September 2013 adalah 47,2% untuk makanan, dan 52,8% untuk bukan makanan. Maka jika kita memiliki pendapatan per kapita Rp 32.463.736 juta per tahun atau sekitar Rp 2,7 juta per bulan, penduduk Indonesia akan mengalokasikan Rp 1.274.400 dari pendapatan itu untuk mengkonsumsi makanan, dan sisanya Rp 1.426.140 untuk mengkonsumsi non makanan. Rincian untuk masing-masing sub kategori barang yang dikonsumsi ada dalam lampiran gambar tulisan ini. Untuk tahun 2014 BPS belum merelease pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Namun jika diasumsikan naik 10% saja, maka akhir tahun ini pendapatan per kapita naik menjadi Rp 2,9 juta per bulan.
Sekarang mari kita ulas secara sederhana dampak kenaikan BBM terhadap kenaikan harga barang-barang konsumsi baik makanan maupun non makanan. Jika kenaikan harga BBM sebesar Rp 3.000 dari harga awal Rp 6.500 sehingga menjadi Rp 9.500, maka kenaikan BBM secara persentase adalah sebesar 46,15%.
Pertanyaan kunci dari persoalan kenaikan BBM sebenarnya bisa ‘dibuat’ sederhana, yakni apakah kenaikan BBM tersebut menyebabkan terjadinya surplus atau defisit pendapatan-pengeluaran masing-masing profesi masyarakat. Sebagai ilustrasi sederhana akan saya paparkan sebagai berikut.
Kenaikan BBM pasti akan menaikkan pula pengeluaran, misal 13,45%, baik pengeluaran untuk konsumsi baham makanan maupun non makanan. Jika dengan kenaikan tersebut pendapatan kita tidak meningkat minimal sebanyak 13,45% pula, maka artinya kenaikan BBM akan berdampak defisit pada neraca keuangan rumah tangga kita.
Kita ambil contoh misalnya profesi seorang supir angkot. Pendapatan sebelum kenaikan BBM misalnya Rp 3 juta per bulan. Pendapatan tersebut digunakan untuk konsumsi kebutuhan hidup sebesar Rp 2.900.000 per bulan, dan menabung Rp 100.000 per bulan. Misal jika dengan adanya kenaikan BBM sebesar 46,15%. menyebabkan kenaikan biaya konsumsi bulanan rata-rata sebesar 13,45%. Sementara itu dengan menaikkan ongkos angkot, sang supir mampu kenaikan pendapatan sebesar 10,00%. Dengan demikian pengeluaran dan pendapatan sebulannya akan naik masing-masing menjadi Rp 3.290.000 dan Rp 3.300.000. Artinya kenaikan itu menyebabkan pengurangan surplus anggran sebesar Rp 90.000, dan dia hanya bisa savingsebulan sebesar Rp 10.000 dari Rp 100.000 sebelum kenaikan BBM.
Berbagai profesi tentu saja akan menerima dampak yang berbeda-beda. Tergantung pada selisih kenaikan pendapatan dengan pengeluaran. Profesi yang sangat ‘resisten’ akibat dampak kenaikan BBM ini biasanya adalah pegawai yang biasanya ‘hanya’ mengandalkan penerimaan dari gaji atau honor bulanan semisal PNS atau buruh. Terlebih lagi Pemerintah Jokowi sudah wanti-wanti akan mengambil kebijakan memangkas sebagian tunjangan-tunjangan PNS. Saya pernah menulis tentang hal ini dalam postingan berikut:https://plus.google.com/u/0/110235687001326579737/posts/j1j1LvB7HiC
Sementara bagi pengusaha atau pedagang, mungkin lebih sedikit ‘leluasa’ mengatur pendapatan dengan cara menaikkan harga jual barang atau jasa produksinya.Gambar yang saya sertakan bisa mengilustrasikan uraian ini. Data yang ditampilkan adalah ilustrasi saja, bukan data nyata.
Perhitungan dan analisis resiko berkaitan dengan kenaikan BBM ini sesungguhnya sangat kompleks dan njlimet. Banyak tools yang bisa digunakan untuk menganalisis manfaat-resiko dari kenaikan BBM ini. Baik pendekatan mikro maupun makro, analisis dampak kenaikan BBM secara kualitatif maupun kuantitatif pasti akan menyertakan banyak variabel. Sudah banyak penelitian yang mengulas tentang tema ini baik dari kalangan akademisi, maupun praktisi. Namun kembali lagi-lagi, di negara kita tercinta Indonesia, rekomendasi teknis sering dikalahkan oleh rekomendasi politis. Sang insinyur harus mengalah pada sang penguasa. Jadi dalam pemahaman saya, kenaikan BBM ujung-ujungnya sebenarnya adalah persoalan politis, bukan teknis.
Tidak banyak dari masyarakat kita yang tahu bagaimana perhitungan dan analisis dari kebijakan kenaikan BBM. Lebih banyak lagi yang tidak tahu bagaimana proses politis kebijakan kenaikan BBM tersebut dikeluarkan. Dan amat sedikit lagi masyarakat yang terlibat dalam proses keluarnya kebijakan tersebut.
Persis seperti judul tulisan ini di atas. Banyak dari kita yang bisa membaca kalimat dalam judul tersebut. Namun tidak banyak dari kita yang memahami kalimat tersebut. Dan lebih tidak banyak lagi dari kita yang bisa membuat kalimat tersebut.
Cobalah amati judul tersebut dan bandingkan dengan kalimat ini: “Biar raga Rudi tidur, agar raib” yang pernah saya buat pada Tanggal 21 Februari 2012.
Jika belum menemukan kuncinya, berkunjunglah ke Neng Google dan ketikkan Palindrome atau mengunjungi postingan saya di link berikut: https://plus.google.com/u/0/110235687001326579737/posts/UD1FrDjfZW9
Saya pribadi minta maaf jika ‘terpaksa’ mengambil kata ‘budak’ pada judul tulisan ini untuk menggambarkan kondisi rakyat. Budak yang harus patuh pada keputusan seorang Master, sang penguasa negeri. Banyak rakyat yang tidak mengerti bahkan tidak boleh tahu dengan kondisi sesungguhnya bangsa ini.
Namun demikian, mari kita semua berdoa dan ikhtiar, semoga saja kenaikan BBM tidak kian menyengsarakan rakyat. Semoga saja kenaikan BBM kali ini tidak sampai membuat rakyat kita menjadi lebih berontak karena semakin nelangsa menjalani hidup. Semoga daya beli masyarakat tetap kuat, dan yang lebih penting lagi kesenjangan antara si kaya dan si miskin menjadi tidak semakin jauh. Aamin …
Wallahu a’lam..
Referensi:
Pendapatan per Kapita Indonesia:
http://www.bps.go.id/eng/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=11¬ab=76
Pendapatan per Kapita Seluruh negara:
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_PDB_(KKB)_per_kapita
Judul tulisan ini memuat singkatan. BBM adalah singkatan dari Bahan Bakar Minyak, sementara MBB singkatan dari Menyengsarakan Banyak Budak. Sehingga jika judul tersebut kita panjangkan akan menjadi Bahan Bakar Minyak Naik Kian Menyengsarakan Banyak Budak. Judulnya mungkin agak lebay, tapi ada pesan yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan penulisan singkatan dalam judul tersebut. Konsen saya dalam tulisan ini adalah ingin mengulas seberapa besar pengaruh kenaikan BBM bagi masyarakat banyak.
Sebelum melanjutkan membahas judul tersebut, saya mencoba mengawali tulisan ini dengan menengok terlebih dahulu Data BPS tentang Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang dari Penduduk Indonesia pada periode September Tahun 2013. Pendapatan per kapita negara kita masih relatif lebih kecil dibandingkan negara lain di ASEAN semisal Malaysia. BPS memuat 2 (dua) kategori utama kelompok barang yang dikonsumsi oleh penduduk, yakni barang konsumsi berupa makanan dan bukan makanan. Yang termasuk dalam kategori konsumsi makanan diantaranya adalah Padi-padian, Umbi-umbian, Ikan, Daging, Telur dan susu, Sayur-sayuran, Kacang-kacangan, Buah-buahan, Minyak dan lemak, Bahan minuman, Bumbu-bumbuan, Konsumsi lainnya, Makanan jadi, Minuman beralkohol, dan Tembakau atau sirih. Sementara yang ermasuk dalam kategori konsumsi bukan makanan, diantaranya adalah Perumahan dan fasilitas rumahtangga, Barang dan jasa, Pakaian, alas kaki dan tutup kepala, Barang-barang tahan lama, Pajak dan asuransi, serta Keperluan pesta dan upacara.
Menurut BPS, persentase masing-masing barang yang dikonsumsi oleh penduduk Indonesia pada Bulan September 2013 adalah 47,2% untuk makanan, dan 52,8% untuk bukan makanan. Maka jika kita memiliki pendapatan per kapita Rp 32.463.736 juta per tahun atau sekitar Rp 2,7 juta per bulan, penduduk Indonesia akan mengalokasikan Rp 1.274.400 dari pendapatan itu untuk mengkonsumsi makanan, dan sisanya Rp 1.426.140 untuk mengkonsumsi non makanan. Rincian untuk masing-masing sub kategori barang yang dikonsumsi ada dalam lampiran gambar tulisan ini. Untuk tahun 2014 BPS belum merelease pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Namun jika diasumsikan naik 10% saja, maka akhir tahun ini pendapatan per kapita naik menjadi Rp 2,9 juta per bulan.
Sekarang mari kita ulas secara sederhana dampak kenaikan BBM terhadap kenaikan harga barang-barang konsumsi baik makanan maupun non makanan. Jika kenaikan harga BBM sebesar Rp 3.000 dari harga awal Rp 6.500 sehingga menjadi Rp 9.500, maka kenaikan BBM secara persentase adalah sebesar 46,15%.
Pertanyaan kunci dari persoalan kenaikan BBM sebenarnya bisa ‘dibuat’ sederhana, yakni apakah kenaikan BBM tersebut menyebabkan terjadinya surplus atau defisit pendapatan-pengeluaran masing-masing profesi masyarakat. Sebagai ilustrasi sederhana akan saya paparkan sebagai berikut.
Kenaikan BBM pasti akan menaikkan pula pengeluaran, misal 13,45%, baik pengeluaran untuk konsumsi baham makanan maupun non makanan. Jika dengan kenaikan tersebut pendapatan kita tidak meningkat minimal sebanyak 13,45% pula, maka artinya kenaikan BBM akan berdampak defisit pada neraca keuangan rumah tangga kita.
Kita ambil contoh misalnya profesi seorang supir angkot. Pendapatan sebelum kenaikan BBM misalnya Rp 3 juta per bulan. Pendapatan tersebut digunakan untuk konsumsi kebutuhan hidup sebesar Rp 2.900.000 per bulan, dan menabung Rp 100.000 per bulan. Misal jika dengan adanya kenaikan BBM sebesar 46,15%. menyebabkan kenaikan biaya konsumsi bulanan rata-rata sebesar 13,45%. Sementara itu dengan menaikkan ongkos angkot, sang supir mampu kenaikan pendapatan sebesar 10,00%. Dengan demikian pengeluaran dan pendapatan sebulannya akan naik masing-masing menjadi Rp 3.290.000 dan Rp 3.300.000. Artinya kenaikan itu menyebabkan pengurangan surplus anggran sebesar Rp 90.000, dan dia hanya bisa savingsebulan sebesar Rp 10.000 dari Rp 100.000 sebelum kenaikan BBM.
Berbagai profesi tentu saja akan menerima dampak yang berbeda-beda. Tergantung pada selisih kenaikan pendapatan dengan pengeluaran. Profesi yang sangat ‘resisten’ akibat dampak kenaikan BBM ini biasanya adalah pegawai yang biasanya ‘hanya’ mengandalkan penerimaan dari gaji atau honor bulanan semisal PNS atau buruh. Terlebih lagi Pemerintah Jokowi sudah wanti-wanti akan mengambil kebijakan memangkas sebagian tunjangan-tunjangan PNS. Saya pernah menulis tentang hal ini dalam postingan berikut:https://plus.google.com/u/0/110235687001326579737/posts/j1j1LvB7HiC
Sementara bagi pengusaha atau pedagang, mungkin lebih sedikit ‘leluasa’ mengatur pendapatan dengan cara menaikkan harga jual barang atau jasa produksinya.Gambar yang saya sertakan bisa mengilustrasikan uraian ini. Data yang ditampilkan adalah ilustrasi saja, bukan data nyata.
Perhitungan dan analisis resiko berkaitan dengan kenaikan BBM ini sesungguhnya sangat kompleks dan njlimet. Banyak tools yang bisa digunakan untuk menganalisis manfaat-resiko dari kenaikan BBM ini. Baik pendekatan mikro maupun makro, analisis dampak kenaikan BBM secara kualitatif maupun kuantitatif pasti akan menyertakan banyak variabel. Sudah banyak penelitian yang mengulas tentang tema ini baik dari kalangan akademisi, maupun praktisi. Namun kembali lagi-lagi, di negara kita tercinta Indonesia, rekomendasi teknis sering dikalahkan oleh rekomendasi politis. Sang insinyur harus mengalah pada sang penguasa. Jadi dalam pemahaman saya, kenaikan BBM ujung-ujungnya sebenarnya adalah persoalan politis, bukan teknis.
Tidak banyak dari masyarakat kita yang tahu bagaimana perhitungan dan analisis dari kebijakan kenaikan BBM. Lebih banyak lagi yang tidak tahu bagaimana proses politis kebijakan kenaikan BBM tersebut dikeluarkan. Dan amat sedikit lagi masyarakat yang terlibat dalam proses keluarnya kebijakan tersebut.
Persis seperti judul tulisan ini di atas. Banyak dari kita yang bisa membaca kalimat dalam judul tersebut. Namun tidak banyak dari kita yang memahami kalimat tersebut. Dan lebih tidak banyak lagi dari kita yang bisa membuat kalimat tersebut.
Cobalah amati judul tersebut dan bandingkan dengan kalimat ini: “Biar raga Rudi tidur, agar raib” yang pernah saya buat pada Tanggal 21 Februari 2012.
Jika belum menemukan kuncinya, berkunjunglah ke Neng Google dan ketikkan Palindrome atau mengunjungi postingan saya di link berikut: https://plus.google.com/u/0/110235687001326579737/posts/UD1FrDjfZW9
Saya pribadi minta maaf jika ‘terpaksa’ mengambil kata ‘budak’ pada judul tulisan ini untuk menggambarkan kondisi rakyat. Budak yang harus patuh pada keputusan seorang Master, sang penguasa negeri. Banyak rakyat yang tidak mengerti bahkan tidak boleh tahu dengan kondisi sesungguhnya bangsa ini.
Namun demikian, mari kita semua berdoa dan ikhtiar, semoga saja kenaikan BBM tidak kian menyengsarakan rakyat. Semoga saja kenaikan BBM kali ini tidak sampai membuat rakyat kita menjadi lebih berontak karena semakin nelangsa menjalani hidup. Semoga daya beli masyarakat tetap kuat, dan yang lebih penting lagi kesenjangan antara si kaya dan si miskin menjadi tidak semakin jauh. Aamin …
Wallahu a’lam..
Referensi:
Pendapatan per Kapita Indonesia:
http://www.bps.go.id/eng/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=11¬ab=76
Pendapatan per Kapita Seluruh negara:
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_PDB_(KKB)_per_kapita
No comments:
Post a Comment