Tukang Bubur Naik Haji. Judul sebuh sinteron di salah satu televisi swasta yang tidak pernah saya ikutin bahkan untuk satu episode pun. Namun dari sumber wikipedia saya mendapatkan sinopsisnya sebagai berikut.
Cerita keseluruhan Tukang Bubur Naik Haji seperti menonton kehidupan masyarakat sehari-hari, yang di dalamnya termasuk perilaku kita sendiri. Kita yang seolah-olah seorang dermawan sejati, padahal sebenarnya kita sangat mengharapkan pujian orang. Sebenarnya ada kecenderungan kita ingin pamer. Bagaimana kita selalu berpenampilan suci, padahal apa yang kita lakukan seringkali keji. Bahkan kepada orang yang pernah menolong kita sekalipun. Kepalsuan-kepalsuan yang hanya kita sendiri yang tahu, selalu membuat kita tersenyum jengah. Kesemuanya disajikan secara manis dan lucu dalam serial ini.
Saya mencoba sedikit mengulas dari sudut pandang nilai-nilai keadilan dan keadaban atas apa yang dilakukan oleh saudara sebangsa kita Muhammad Arsyad Assegaf berkaitan dengan kasus yang menimpa dirinya yang harus berurusan dengan hukum akibat aktivitas bully.
Definisi bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Bullying berasal dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah.
Dari referensi yang saya dapatkan, ada beberapa outline informasi terhadap kasus yang menimpa Mas Arsyad ini:
1. Pekerjaannya adalah buruh Tukang Sate.
2. Ekonomi keluarganya termasuk lemah, bahkan dia adalah salah satu anggota keluarga yang turut membiayai ketiga adiknya (2 masih SD, 1 SMP). Penghasilan sehari sekitar 35 ribu.
3. Foto yang dianggap menghinakan Jokowi berupa editan gambar berbau pornografi diupload melalui FB pribadinya yang sekarang sudah suspend.
4. Foto pornografis tersebut diunggah semasa pilpres melalui warnet dan bukan hasil editan sendiri.
5. Dia dilaporkan oleh Henry Yosodiningrat, Kordinator Tim kuasa hukum Pemenangan Kampanye Joko Widodo.
6. Penangkapan terjadi tepatnya Kamis pagi (23/10/14). Diawali, empat orang berpakaian sipil datang di rumah dia. Keempat orang mengakui sebagai anggota polisi itu menanyakan beberapa hal tekait gambar-gambar yang diunggah dia. Kemudian, dia digelandang ke Mabes Polri.
7. Pada saat pipres dia memilih golput sementara Ibunya mengaku memilih Jokowi.
8. Dikenai pasal berlapis yaitu Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU ITE dengan ancaman 12 tahun penjara.
9. Ibunya bersedia sembah sujud agar anaknya dimaafkan bahkan mau bunuh diri jika sampai anaknya ditahan.
Mungkin masih banyak beberapa data yang berkaitan dengan kasus ini yang belum saya sebutkan di atas. Masyarakat seperti biasa memberikan apresiasi yang berbeda-beda. Dan seperti biasa pula ketika sebuah 'isue' dilemparkan ke publik, muncul polemik. Debat karena perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa kejadian ini adalah skenario pencitraan terhadap Jokowi berlanjut dan pengalihan isu kenaikan BBM belaka, ada pula yang berpendapat bahwa kejadian ini karena motivasi pribadi Henry Yosodiningrat agar mendapatkan perhatian khusus dari Jokowi, atau ada yang berpendapat pula bahwa kejadian ini adalah sebuah hal yang biasa tanpa rekayasa. Dalam hal penanganan, ada yang berpendapat agara pelaku di hukum sesuai dengan hukum yang berlaku, dan sebagian lain berpendapat sebaiknya dimaafkan. Dan lagi-lagi pendapat-pendapat tersebut selalu saja terpolarisasi sesuai dengan dukungan selama pilpres. Yang mendukung Jokowi sebagian besar berpendapat pelaku harus dihukum, yang mendukung Prabowo sebagian besar berpendapat sebaiknya tidak dihukum dan meminta keadilan bagi orang lain yang melakukan hal sama.
Saya pribadi mencoba memandangnya dari 2 aspek. Pertama berkaitan dengan aspek latar belakang, dan kedua dari aspek kejadian.
Secara latar belakang, kita mungkin sepakat bahwa apa yang dilakukannya adalah apresiasi ketidaksetujuan pada profil seorang Jokowi. Cara yang dia lakukan tentu saja banyak ditemui pula dilakukan oleh orang lain sejak dulu ketika periode presiden sebelumnya, atau bahkan selama pipres 2014 ini. Jokowi dan Prabowo menjadi obyek yang paling banyak mendapatkan bully semasa pilpres, baik bully berupa kata-kata cercaan yang bernuansa hewani maupun bully dalam bentuk gambar atau video.
Maka tanpa harus membenarkan cara dia mengungkapkan apresiasinya, sebuah kenyataan bahwa apa yang dilakukan olehnya sebagai bentuk dari apresiasi terhadap capres adalah sebuah hal yang bisa diwajarkan. Memang amat disayangkan jika dia melakukanya dengan tidak mengindahkan norma dan aturan yang berlaku. Namun marilah kita menilai segala sesuatu dengan seadil-adilnya walau keadilan manusia hampir pasti sangat absurd.
Jika kita sepakat dengan tuntutan terhadap dia untuk dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, maka kita juga sebaiknya sepakat bahwa siapapun yang melakukan hal seperti dia harus dihukum pula. Pemerintah Jokowi harus mendorong setiap kasus pembullyan yang dilakukan selama pilpres atau sesudahnya untuk diterapkan perlakuan hukum yang sama. Saya yakin penjara kita akan penuh terisi masyarakat yang berlaku represif selama pilpres. Tentu kita masih ingat, bahkan seorang tokoh seperti Wimar Witular melakukan pembully-an pada banyak tokoh yang tak berpolitik seperti Aa Gym atau bahkan organisasi keislaman seperti Muhammadiyah.
Jika kita sepakat bahwa sebaiknya menggunakan norma welas asih dengan memberikan maaf tanpa menghilangkan aspek kuratif (mendidik dengan mencegah), maka kita sebaiknya sepakat pula bahwa siapapun yang melakukan hal tersebut sebaiknya kita maafkan.
Toh, dalam ajaran Islam ada perintah untuk memaafkan jika yang merasa dirugikan itu mau. Bahkan dalam kasus hukum pembunuhan pun diajarkan untuk lebih mengutamakan memberi maaf dibandingkan membalas dengan membunuh lagi (Qishas).
Namun lepas dari itu semua, kita semakin sadar bahwa hukum di Indonesia yang seharusnya berlaku adil sesuai dengan lambangnya yang berupa timbangan, ternyata masih sangat jauh dari yang diharapkan. Supremasi hukum hanya sekedar jargon. Hukum cenderung membela yang mampu dan berkuasa. Bagi yang tidak memiliki kemampuan dan punya kuasa, maka yang sering terjadi adalah menjadi korban hukum.
Mas Arsyad, dirimu tak hanya membuka mata hati setiap rakyat Indonesia bahwa masih banyak ketidakadilan yang terjadi di negeri tercita ini. Namun dirimu juga sudah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia sudah sangat jengah dengan kepalsuan elite politik dalam menipu rakyat. Walau tak mampu secara ekonomi, bukan berarti rakyat banyak tak berhak menyuarakan kebenaran hatinya.
Jika personifikasi presiden adalah orang yang menjadi perhatian atas keberaniannya melakukan sesuatu maka Mas Arsyad sudah menjadi presiden kita. Dia mampu mengingatkan kembali ingatan masyarakat kita yang masih tertidur bahwa kita memiliki sila ke-2 yang mengajarkan kemanusiaan itu harus dibangun tidak sekedar secara adil, namun juga beradab.
Marilah bersama-sama terus belajar berlaku adil setiap menyikapi keadaan yang ada. Mulut kita mungkin bisa berdusta saat ini, namun yakinlah ada suatu masa ketika mulut kita terkunci. Yang berbicara hanya mata, telinga, tangan, kaki, dan hati kita. Sebab saat itu kita sudah tak kan bisa lagi berlaku penuh kepura-puraan seperti dalam cerita Tukang Bubur Naik Haji
_Wallahu a'lam..._
Tambahan Info:
Bagi rekan-rekan yang ingin membantu keluarga Mas Arsyad, Jaringan Merah Putih sudah memfasilitasinya. melalui Bank BCA No Rekening:566.0310.659 atas nama PT Pranata Inti Media(rekening sementara sambil menunggu rekening JMP jadi).
Sampai pukul 15.00 tadi, jumlah bantuan sudah terkumpul: Rp 12.304.999 dan akan diserahkan besok ba'da Jumat, langsung kepada Ibunda beliau.
Untuk informasi selanjutnya silakan mengunjungi:
https://www.facebook.com/pages/Jaringan-Merah-Putih/634992333286063
Daftar penyumbang dan informasi terkini berkaitan dengan keluarga Mas Arsyad bisa dilihat di:
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=661353433983286&id=634992333286063
No comments:
Post a Comment