Pemilihan Legistatif dan Pemilihan Presiden sudah usai. Pemilihan Pimpinan DPR/MPR juga sudah usai. Agenda penting dunia politik Indonesia menyisakan tahap berikutnya, yakni pelantikan Presiden Terpilih menjadi Presiden Definitif oleh MPR/DPR pada tanggal 20 Oktober 2014 nanti.
Sepanjang Pileg, Pilpres, dan Pemilihan Pimpinan DPR/MPR banyak sekali terjadi dinamika yang bukan saja sekedar riak politik, namun gelombang besar perpolitikan di Indonesia, khususnya ketika episode Pilpres dan Pemilihan Pimpinan DPR/MPR. Jika boleh dikatakan sebuah ‘peperangan’, maka pertarungan antara dua kelompok besar koalisi sepertinya akan berlanjut hingga 5 tahun mendatang. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menguasai eksekutif, sementara Koalisi Merah Putih (KMP) menguasai legistatif. Dalam konteks Trias Politica yang dianut oleh sistem perpolitikan di Indonesia, maka wilayah yudikatif masih dipegang oleh penguasa terdahulu sebelum adanya pergantian berikutnya.
Teknik dan strategi politik dilancarkan oleh kedua koalisi sejak Pilpres hingga pasca Pemilihan Pimpinan DPR/MPR untuk membangun visi misi koalisinya dan merebut hati rakyat. Kedua koalisi mengklaim sebagai penyambung suara rakyat. Tentu saja metode klaim disesuaikan dengan teknik dan strategi politik masing-masing. Masyarakat yang sejak pilpres ikut terpolarisasi menjadi dua kutub semakin memposisikan diri sebagai sisi bargaining yang ingin dipandang kuat. Terbukti keramaian aktivitas perpolitikan masyarakat ada dimana-mana terutama di dunia maya. Banyak masyarakat yang rasional dan bijak dalam memberikan kontribusi opini, dan banyak pula yang emosioal dan tidak bijak dalam mengapresiasikan ‘nilai rasa’ politiknya.
Namun lepas dari semua itu, sebagian besar rakyat Indonesia pasti menginginkan tercapainya cita-citanya yang sebenarnya relatif sederhana. Dapat hidup di negara tercinta ini dengan sejahtera dalam suasana penuh keadilan. Maka harapan rakyat pada para pemimpin negeri ini baik pemimpin yang duduk di kursi legistatif maupun di kursi eksekutif atau yudikatif adalah bahwa mereka menginginkan pemimpin yang super. Rakyat menginginkan pemimpin-pemimpin setiap lembaga pada bangsa ini adalah sosok yang tahan banting. Terlebih lagi seorang Presiden yang merupakan pimpinan pemerintahan teritinggi. Sebab selain pertimbangan persoalan bangsa dan dunia yang sudah semakin kompleks, ongkos mendapatkan seorang Presiden di Indonesia juga amatlah mahal. Ibarat energi, maka presiden kita haruslah seperti Energi Nuklir dalam sebuah pembangkit listrik.
Energi Nuklir dan PLTN
Membangun sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, menurut Nuclear Technology Review 2009, IAEA, Vienna 2009, biaya sesaat untuk Pembangunan PLTN di wilayah Asia adalah yang paling rendah berdasar pada pengalaman terkini membangun PLTN. Biaya sesaat di Asia terendah sekitar 1.500 US$/kWe dan tertinggi sekitar 3.600 US$/kWe. Biaya investasi tertinggi di Asia adalah di Jepang, mengingat daerahnya mempunyai intensitas dan frekuensi kegempaan yang tinggi, sehingga memerlukan standar konstruksi yang lebih tinggi. Pembangunan PLTN di Amerika Utara memerlukan investasi yang lebih tinggi karena labour cost-nya tinggi serta minimnya data yang tersedia dalam membangun PLTN.
Menurut hasil penelitian Elok S. Amitayani, Suparman, Moch. Nasrullah, Rizki Firmansyah Setya Budi dalam sebuah Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012 berjudul STUDI PENDANAAN PLTN KELAS 1000 MWe MENGGUNAKAN PROGRAM FINPLAN di Pusat Pengembangan Energi Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional, memaparkan bahwa salah satu masalah dalam pembangunan PLTN di Indonesia adalah investasi, dan Investor perlu diyakinkan mau berinvestasi dalam proyek PLTN. Tujuan dari studi mereka adalah melakukan analisis kelayakan rencana investasi PLTN dengan menghitung tiga parameter nilai kelayakan investasi:internal rate of return (IRR) atau tingkat pengembalian modal, net present value _(NPV) atau nilai bersih sekarang dan _payback period (PB) atau masa pengembalian modal menggunakan program IAEA.Finplan adalah program berbasis spreadsheet yang dikembangkan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dan khusus dibuat untuk perhitungan finansial perusahaan pembangkitan listrik yang memiliki satu atau lebih mesin pembangkit dari berbagai jenis teknologi dan bahan bakar. Parameter-parameter input dan opsi-opsi yang dapat dipilih user dalam program ini dibuat untuk mendekati keadaan di lapangan.
Hasil studi menjelaskan bahwa biaya modal sesaat pembangunan adalah sebesar $2600/kW, kapasitas netto pembangkit 1000 MWe, faktor kapasitas 85%, masa konstruksi 6 tahun (2019-2024), biaya operasi dan perawatan $53,7 juta/tahun, biaya bahan bakar $45,1 juta/tahun, biaya dekomisioning 15% dari biaya modal sesaat, discount rate 10%, inflasi mata uang asing (dipakai dolar Amerika) sebesar 2% dan inflasi rupiah sebesar 6%. Pendanaan PLTN akan menggunakan skema konvensional (campuran antara modal sendiri dan hutang), Equity adalah gabungan modal para pemegang saham PLTN, sedangkan loan berasal dari kredit ekspor pertama dan kredit ekspor kedua. Rasio equity:hutang=25:75(%). Harga jual listrik tahun 2008 adalah Rp 700/kWh dengan kenaikan tetap 2% per tahun. Hasil skenario dasar didapat nilai IRR = 14,81%, NPV = Rp 4901,33 miliar, dan PB 12 tahun.
Presiden dan Nuklir
Jika dianalogikan dengan paramater pembangunan PLTN di atas, komponen biaya yang dibutuhkan dan analisis kelayakan untuk mendapatkan seorang presiden boleh dikatakan similar. Jika dalam sebuah pembangunan PLTN dengan kapasitas energi 1000 MW kita memerlukan investasi sebesar Rp 4,9 triliun maka kita juga dapat mengukur berapa biaya yang diperlukan untuk ‘membangun’ seorang presiden. Seorang pengamat ekonomi memprediksi seorang kandidat presiden harus menyiapkan US$ 600 juta (sekitar Rp 7 triliun), seperti dikutip situs Majalah Forbes, 20 November 2013. Jika ditambahkan dengan penyediaan anggaran pelaksanaan Pileg dan Pilpres sebesar Rp 13,8 triliun, maka total biaya yang diperlukan untuk 2 calon pemimpin bangsa ini saja bisa mencapai Rp 27,8 triliun. Jumlah sebesar ini belum menghitung biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing caleg dari semua partai. Menurut KPU, jumlah Calon Tetap DPR pada periode sebelumnya 2009-2014 adalah sebanyak 11.215 orang pada periode sebelumnya masing-masing mengeluarkan rata-rata 6 milyar, maka biaya yang diperlukan sebesar Rp 67.500 triliun. Mengapa memperhitungan biaya caleg juga, karena seorang presiden pada kenyataanya diusulkan oleh fraksi-fraksi, sementara fraksi berasal dari anggota dewan. Jadi mengukur biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan seorang presiden terpilih adalah sejak proses pemilihan legistatif berlangsung.
Melihat kondisi tersebut, ternyata biaya investasi demokrasi kita untuk mendapatkan seorang presiden amat sangat besar. Maka bangsa ini amat sangatlah merugi, jika seorang presiden yang terpilih tidak memberikan kontribusi kemanfaatan yang besar pula. Seperti halnya dalam pembangunan PLTN, makainternal rate of return (IRR), net present value (NPV), dan payback period (PB) dari investasi seorang presiden haruslah terukur dengan jelas. Dan tentu saja terukurnya untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan terukur untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya saja, khususnya ‘kelompok dagang’ para konglomerat yang menyokong biaya sang presiden dan partai politiknya.
Presiden kita haruslah seperti Nuklir. Seorang presiden yang memiliki energi dan berdaya guna tinggi. Bukan seorang Presiden Bom Molotov yang energinya amat kecil dan ledakan-ledakannya hanya menciptakan huru-hara.
Jika pilpres yang selama ini kita laksanakan ternyata belum mampu untuk melahirkan seorang presiden yang berenergi besar, tahan banting, dan bermanfaat buat rakyat banyak, namun hanya menghasilkan seorang presiden yang gampang ngambek, mudah loyo, dan hanya menguntungkan pribadi atau kelompok penyokongnya saja, maka sepertinya ada yang salah dengan KITA.
Referensi:
http://www.batan.go.id/
http://mediacenter.kpu.go.id/
http://www.tempo.co/read/news/2013/11/22/090531528/Mau-Nyapres-Siapkan-Dana-Minimal-Rp-7-Triliun
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/08/26/kpu-telah-gunakan-rp-91-t-selama-pileg-dan-pilpres-2014
http://www.koran-sindo.com/node/310588
No comments:
Post a Comment