Tidak kurang dari sepekan ini nama Susi Pudjiastuti menjadi melejit. Lejitannya bahkan mungkin lebih heboh dari isu harga BBM yang akan naik pada tanggal 1 November nanti.
Saya mengamati berbagai berita, postingan dan komentar yang ada di dunia maya berkaitan dengan aksi nyentrik ibu menteri ini. Tulisan ini juga didasari oleh postingan rekan saya Pak +Erwan Waluyo yang kebetulan adalah teman beliau semasa SMA dan tentunya sangat mengenalnya karena selepas SMA nya pun mereka masih berkomunikasi.
Seperti biasa, ketika ada fenomena yang menarik seperti pengangkatan Susi menjadi menteri, masyarakat kita yang sudah terbawa physiologic barrier kembali masuk ke suasana sindrom dukung-mendukung.
Sebagian masyarakat yang menganggap benar keputusan Jokowi dengan mengangkat Susi kembali berapologis dan memaksakan argumentasi terhadap pendapat yang tidak setuju, sementara itu sebagian lagi yang menganggap keliru keputusan Jokowi dalam mengangkat Susi didudukkan dalam kabinet terlihat terlalu tergesa-gesa mengkritik tanpa diikuti dengan analisis komprehensif atau setidaknya data yang lebih memadai. Tepatnya, keduanya sekedar memenuhi kepuasan batin.
Namun seperti yang ditulis ole Pak Erwan, ada yang menggelitik dari kebiasaan masyarakat sindrom pilpres ini. Ketika sebagian masyarakat mengkritisi aspek attitude dari seorang Susi khususnya dalam hal latar belakang pendidikan dan perilaku merokoknya, Banyak sekali Pembela Jokowi (lagi-lagi) menyanggahnya dengan membandingkan secara tidak logis. Semisal:
"Pilih mana berpendidikan tinggi tapi korupsi, atau berpendidikan rendah tapi tidak korupsi"
atau perbandingan lain:
"Pilih mana merokok tetapi berprestasi, atau tidak merokok tapi tidak berprestasi."
Seperti yang ditulis oleh Pak Erwan, logika ini sebenarnya membahayakan. Khususnya bagi masyarakat yang tidak terbiasa berfikir secara komprehensif. Mari kita perhatikan percobaan perbandingan di atas.
Ada 4 (empat) sifat yang disebutkan, ada 2 (dua) pasangan sifat yang dikombinasikan, namun hanya ada 2 (dua) pilihan yang diberikan. Padahal dalam pelajaran matematika di sekolah menengah, kita semua pernah mendapatkan teori permutasi dan kombinasi bahwa jika ada 4 elemen dari sebuah himpunan, maka banyaknya kombinasi yang berukuran 2 elemen akan menghasilkan:
4! / (2! (4 - 2)!) = 4! / (2! x 2!) = (4 x 3 x 2 x 1) / (2 x 1) (2 x 1) = 6 kombinasi.
Pada kasus: "Pilih mana berpendidikan tinggi tapi korupsi, atau berpendidikan rendah tapi tidak korupsi" sebenarnya memuat 4 elemen himpunan, yakni: (1) Berpendidikan Tinggi, (2) Berpendidikan Rendah, (3) Korupsi, dan (4) Tidak Korupsi.
Maka jika ingin dikombinasikan menurut kaidah matematika di atas, maka akan memberikan 6 pilihan:
1. Berpendidikan Tinggi dan Tidak Korupsi
2. Berpendidikan Rendah dan Korupsi
3. Berpendidikan Tinggi dan Korupsi
4. Berpendidikan Rendah dan Tidak Korupsi
5. Berpendidikan Tinggi dan Berpendidikan Rendah
6. Korupsi dan Tidak Korupsi.
Untuk kombinasi no. 5 dan no. 6 tentu saja kita tidak pakai karena kita sedang membandingkan 2 elemen varibael yang bukan negasinya satu sama salin.
Jadi seharusnya pilihan yang ditawarkan ada 4 (empat) yakni:
1. Berpendidikan Tinggi dan Tidak Korupsi
2. Berpendidikan Rendah dan Korupsi
3. Berpendidikan Tinggi dan Korupsi
4. Berpendidikan Rendah dan Tidak Korupsi
Jika ditawarkan seperti itu, maka hampir pasti semua dari kita akan memilih seorang menteri yang berpendidikan tinggi dan tidak korupsi atau pilihan nomor 1, dan kita semua juga hampir pasti tidak akan memilih nomor 2, berpendidikan rendah dan korupsi.
Mari berhati-hati untuk tidak terjebak dalam logika matematika yang keliru. Kebiasaan seperti ini baik disengaja atau tidak akan mencuci otak kita bahwa kita bisa 'membenarkan' sesuatu yang jelek karena ada sesuatu yang 'baik' di sisi lain. Akibatnya adalah kita terjebak dalam debat tidak sehat yang hanya mengukur apapun dengan mencari yang baiknya saja tanpa berfikir secara komprehensif untuk menilai yang buruknya juga.
Semoga ke depan, masyarakat Indonesia bisa berfikir lebih komprehensif dalam menganilisis sesuatu. Sehingga khusus buat umat Islam, tidak akan ada lagi kita temui pertanyaan 'menyesatkan' seperti:
"Pilih mana, pejabat muslim yang korup atau non muslim yang tidak korup?"
Sebab jika merunut pada data di KPK atau NGO KPK Watch, masih ada bahkan banyak pejabat muslim yang tidak korup dan pejabat non muslim yang korup.
Wallahu a'lam...
Link Postingan Pak Erwan:
https://plus.google.com/u/0/114980398146008345617/posts/82r52WeFrX3
Saya mengamati berbagai berita, postingan dan komentar yang ada di dunia maya berkaitan dengan aksi nyentrik ibu menteri ini. Tulisan ini juga didasari oleh postingan rekan saya Pak +Erwan Waluyo yang kebetulan adalah teman beliau semasa SMA dan tentunya sangat mengenalnya karena selepas SMA nya pun mereka masih berkomunikasi.
Seperti biasa, ketika ada fenomena yang menarik seperti pengangkatan Susi menjadi menteri, masyarakat kita yang sudah terbawa physiologic barrier kembali masuk ke suasana sindrom dukung-mendukung.
Sebagian masyarakat yang menganggap benar keputusan Jokowi dengan mengangkat Susi kembali berapologis dan memaksakan argumentasi terhadap pendapat yang tidak setuju, sementara itu sebagian lagi yang menganggap keliru keputusan Jokowi dalam mengangkat Susi didudukkan dalam kabinet terlihat terlalu tergesa-gesa mengkritik tanpa diikuti dengan analisis komprehensif atau setidaknya data yang lebih memadai. Tepatnya, keduanya sekedar memenuhi kepuasan batin.
Namun seperti yang ditulis ole Pak Erwan, ada yang menggelitik dari kebiasaan masyarakat sindrom pilpres ini. Ketika sebagian masyarakat mengkritisi aspek attitude dari seorang Susi khususnya dalam hal latar belakang pendidikan dan perilaku merokoknya, Banyak sekali Pembela Jokowi (lagi-lagi) menyanggahnya dengan membandingkan secara tidak logis. Semisal:
"Pilih mana berpendidikan tinggi tapi korupsi, atau berpendidikan rendah tapi tidak korupsi"
atau perbandingan lain:
"Pilih mana merokok tetapi berprestasi, atau tidak merokok tapi tidak berprestasi."
Seperti yang ditulis oleh Pak Erwan, logika ini sebenarnya membahayakan. Khususnya bagi masyarakat yang tidak terbiasa berfikir secara komprehensif. Mari kita perhatikan percobaan perbandingan di atas.
Ada 4 (empat) sifat yang disebutkan, ada 2 (dua) pasangan sifat yang dikombinasikan, namun hanya ada 2 (dua) pilihan yang diberikan. Padahal dalam pelajaran matematika di sekolah menengah, kita semua pernah mendapatkan teori permutasi dan kombinasi bahwa jika ada 4 elemen dari sebuah himpunan, maka banyaknya kombinasi yang berukuran 2 elemen akan menghasilkan:
4! / (2! (4 - 2)!) = 4! / (2! x 2!) = (4 x 3 x 2 x 1) / (2 x 1) (2 x 1) = 6 kombinasi.
Pada kasus: "Pilih mana berpendidikan tinggi tapi korupsi, atau berpendidikan rendah tapi tidak korupsi" sebenarnya memuat 4 elemen himpunan, yakni: (1) Berpendidikan Tinggi, (2) Berpendidikan Rendah, (3) Korupsi, dan (4) Tidak Korupsi.
Maka jika ingin dikombinasikan menurut kaidah matematika di atas, maka akan memberikan 6 pilihan:
1. Berpendidikan Tinggi dan Tidak Korupsi
2. Berpendidikan Rendah dan Korupsi
3. Berpendidikan Tinggi dan Korupsi
4. Berpendidikan Rendah dan Tidak Korupsi
5. Berpendidikan Tinggi dan Berpendidikan Rendah
6. Korupsi dan Tidak Korupsi.
Untuk kombinasi no. 5 dan no. 6 tentu saja kita tidak pakai karena kita sedang membandingkan 2 elemen varibael yang bukan negasinya satu sama salin.
Jadi seharusnya pilihan yang ditawarkan ada 4 (empat) yakni:
1. Berpendidikan Tinggi dan Tidak Korupsi
2. Berpendidikan Rendah dan Korupsi
3. Berpendidikan Tinggi dan Korupsi
4. Berpendidikan Rendah dan Tidak Korupsi
Jika ditawarkan seperti itu, maka hampir pasti semua dari kita akan memilih seorang menteri yang berpendidikan tinggi dan tidak korupsi atau pilihan nomor 1, dan kita semua juga hampir pasti tidak akan memilih nomor 2, berpendidikan rendah dan korupsi.
Mari berhati-hati untuk tidak terjebak dalam logika matematika yang keliru. Kebiasaan seperti ini baik disengaja atau tidak akan mencuci otak kita bahwa kita bisa 'membenarkan' sesuatu yang jelek karena ada sesuatu yang 'baik' di sisi lain. Akibatnya adalah kita terjebak dalam debat tidak sehat yang hanya mengukur apapun dengan mencari yang baiknya saja tanpa berfikir secara komprehensif untuk menilai yang buruknya juga.
Semoga ke depan, masyarakat Indonesia bisa berfikir lebih komprehensif dalam menganilisis sesuatu. Sehingga khusus buat umat Islam, tidak akan ada lagi kita temui pertanyaan 'menyesatkan' seperti:
"Pilih mana, pejabat muslim yang korup atau non muslim yang tidak korup?"
Sebab jika merunut pada data di KPK atau NGO KPK Watch, masih ada bahkan banyak pejabat muslim yang tidak korup dan pejabat non muslim yang korup.
Wallahu a'lam...
Link Postingan Pak Erwan:
https://plus.google.com/u/0/114980398146008345617/posts/82r52WeFrX3
No comments:
Post a Comment