Mengikuti perkembangan program Tiga Kartu Sakti (TKS) yang diklaim sebagai program otentik milik pemerintah Jokowi dan menjadi polemik dalam beberapa pekan ini membuat saya tertarik untuk mengulasnya.
Berkiatan dengan sumber dana, saya pribadi mengalami kesulitan dalam melakukan validasi informasi yang cenderung mendekati kebenaran berkaitan dengan sumber dana Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sebab Jokowi dan beberapa pejabat dalam pemerintahannya memberikan pernyataan yang berbeda-beda. Dalam konteks sebagai sebuah program ‘baru’, maka ada 2 (dua) peruntukkan anggaran penyediaan, yakni anggaran yang diperuntukkan dalam pembuatan kartu dan anggaran untuk penyelengaraan program.
1. Presiden Joko Widodo mengakui bahwa anggaran kartu berasal dari APBN. Namun, Jokowi tidak mengetahui persis komponen yang dipakai dalam anggaran itu.
Pemerintah Tak Kompak
2. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan anggarannya berasal dari APBN 2014
Pernyataan JK
3. Menteri Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menegah Anies Baswedan mengatakan anggarannya berasal dari program pendidikan pada pemerintahan sebelumnya, yaitu Bantuan Siswa Miskin (BSM), bukan dari CSR BUMN.
Pernyataan Anies
4. Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan anggarannya berasal dari Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pernyataan Nila
5. Mensesneg Pratikno mengatakan anggarannya berasal dari CSR BUMN.
Pernyataan Pratikno
6. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan anggarannya berasal dari Dana Bendaharawan Umum Negara (BUN).
Pernyataan Khofifah
7. PDI-P sebagai kolaisi pendukung pemerintah mengatakan anggaran berasal dari APBN 2014 dan APBN 2015 dan membantah sumber anggaran dari CSR.
Pernyataan PDIP
Pernyataan PDIP 2
Menganalisis semua pernyataan pejabat tersebut, maka saya memiliki kesimpulan sementara dan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Belum adanya keseragaman dalam meyampaikan informasi dari berbagai pejabat menteri dalam pemerintahan Jokowi kepada masyarakat. Kondisi ini amat memprihatinkan karena bisa menimbulkan persepsi yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Atau dengan bahasa sederhana, Presiden, Wapres, dan para menteri tidak kompak dalam menjelaskan sumber anggaran program kartu tersebut. Bahkan sebagian masyarakat ada yang menilai dengan bahasa emosional bahwa telah terjadi ketidakpintaran dalam melakukan kebohongan publik secara bersama-sama dari pejabat pemerintah pada masyarakat.
2. Program TKS adalah program lama pemerintahan SBY dengan sedikit dimodifikasi. Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebagai nama baru dari Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebagai nama baru dari Program Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sebagai nama baru dari Program Kartu Perlindungan Sosial (KPS). Jika hal ini benar, maka sebaiknya pemerintah Jokowi memberikan informasi yang seragam bahwa program TKS adalah bukan program baru namun sebuah kegiatan melanjutkan program pemerintahan sebelumnya dengan sedikit modifikasi.
3. Sumber anggaran pengadaan kartu dan pelaksanaan program untuk tahun ini berasal dari APBN Tahun 2014 bukan dari CSR (corporate social responsibility), dan akan dilanjutkan menggunakan APBN 2015 yang sudah dirumuskan pemerintah sebelumnya untuk kelanjutan prorgam pada tahun depan. Jika hal ini benar, maka sebaiknya pemerintah menjelaskan mata anggaran dalam DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) APBN 2014 yang berkaitan dengan program tersebut sebagai upaya transparasi pemerintah. Sebab belum ada pernyataan dari pejabat pemerintah yang menyatakan program tersebut berasal dari APBN yang menjelaskan mata anggaran DIPA program.
4. Pengadaan kartu tidak dilakukan melalui tender terbuka tetapi melalui penunjukan langsung (PL) atau pemilihan langsung (PML), sebab jarak antara pengadaan kartu dan pelantikan presiden terlalu dekat yang tidak memungkinkan dilaksanakannya prosedur tender terbuka. Jika ini benar, maka sebaiknya pemerintah Jokowi atau pejabat terkait dapat memberikan landasan hukum yang digunakan dalam menetapkan metode pengadaan PL atau PML tersebut sesuai dengan perundang-undangan tentang aturan pengadaan agar mampu menunjukkan motto jujurnya dan menghindari dugaan-dugaan terjadinya kolusi yang bisa melemahkan pemerintahan beliau. Terlebih lagi dengan adanya informasi bahwa pengadaan pembuatan kartu ‘diberikan’ kepada CV Grammi Communication Technology milik Bimo Sarashadi yang disinyalir sebagai Michael Bimo Putranto yang notabene sedang terlibat dalam kasus Bus Transjakarta seperti dilansir oleh CV Pemenang Proyek dan Link PKS Piyungan
Saya pribadi sangat apresitif terhadap langkah pemerintah Jokowi untuk menyegerakan pelaksanaan Program TKS tersebut. Namun jika dilakukan dengan tergesa-gesa maka hasilnya akan mejadi tidak optimal bahkan bisa menjadi kontraproduktif. Hal-hal yang sebaiknya diperhatikan dalam pelaksanaan program tersebut adalah:
1. Penguatan landasan hukum yang digunakan dalam pelaksanaan program, baik dalam hal penganggaran, teknis pelaksanaan, atau pun hal lain yang berkaitan.
2. Penegasan bahwa program TKS adalah kelanjutan program pemerintahan sebelumnya.
3. Efektifitas sosialisasi program kepada semua pihak baik yang berkaitan dengan landasan hukum yang digunakan, anggaran yang dipakai, proses pengadaan yang dilakukan, hingga penjelasan pelaksanaan program itu sendiri.
4. Perbaikan sistem pelaksanaan program sehingga tidak tumpang tindih dengan program-program sejenis untuk mengurangi ketidakefetifan kegiatan termasuk pemborosan anggaran negara.
5. Menghindari pernyataan atau upaya yang mengarah pada pembenturan legistatif dengan rakyat. Semisal jika ada yang menanyakan landasan konstitusional dan sebagainya adalah seakan-akan tidak berpihak pada rakyat.
Semoga saja ke depan pemerintah Jokowi tidak hanya mampu mendesain program-program kerja yang bagus, namun mampu juga berkomunikasi efektif dengan rakyatnya berkaitan dengan program-program tersebut.
Niat baik seharusnya dilakukan dengan cara yang baik untuk menghasilkan yang baik pula. Jika niat baik tidak dilakukan dengan cara yang baik, maka akan cenderung menghasilkan sesuatu yang tidak baik. Begitupula sebaliknya suatu cara yang tidak baik dengan hasil yang tidak baik cenderung berawal dari niat yang tidak baik.
Seperti halnya radiasi nuklir, niat adalah sesuatu yang tersembunyi namun bisa dibaca dan dirasakan dampaknya. Dan salah satu cara untuk membaca niat yang baik adalah kualitas KEJUJURAN dan KETERATURAN pada aturan.
Wallahu a’lam…
Berkiatan dengan sumber dana, saya pribadi mengalami kesulitan dalam melakukan validasi informasi yang cenderung mendekati kebenaran berkaitan dengan sumber dana Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sebab Jokowi dan beberapa pejabat dalam pemerintahannya memberikan pernyataan yang berbeda-beda. Dalam konteks sebagai sebuah program ‘baru’, maka ada 2 (dua) peruntukkan anggaran penyediaan, yakni anggaran yang diperuntukkan dalam pembuatan kartu dan anggaran untuk penyelengaraan program.
1. Presiden Joko Widodo mengakui bahwa anggaran kartu berasal dari APBN. Namun, Jokowi tidak mengetahui persis komponen yang dipakai dalam anggaran itu.
Pemerintah Tak Kompak
2. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan anggarannya berasal dari APBN 2014
Pernyataan JK
3. Menteri Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menegah Anies Baswedan mengatakan anggarannya berasal dari program pendidikan pada pemerintahan sebelumnya, yaitu Bantuan Siswa Miskin (BSM), bukan dari CSR BUMN.
Pernyataan Anies
4. Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan anggarannya berasal dari Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pernyataan Nila
5. Mensesneg Pratikno mengatakan anggarannya berasal dari CSR BUMN.
Pernyataan Pratikno
6. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan anggarannya berasal dari Dana Bendaharawan Umum Negara (BUN).
Pernyataan Khofifah
7. PDI-P sebagai kolaisi pendukung pemerintah mengatakan anggaran berasal dari APBN 2014 dan APBN 2015 dan membantah sumber anggaran dari CSR.
Pernyataan PDIP
Pernyataan PDIP 2
Menganalisis semua pernyataan pejabat tersebut, maka saya memiliki kesimpulan sementara dan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Belum adanya keseragaman dalam meyampaikan informasi dari berbagai pejabat menteri dalam pemerintahan Jokowi kepada masyarakat. Kondisi ini amat memprihatinkan karena bisa menimbulkan persepsi yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Atau dengan bahasa sederhana, Presiden, Wapres, dan para menteri tidak kompak dalam menjelaskan sumber anggaran program kartu tersebut. Bahkan sebagian masyarakat ada yang menilai dengan bahasa emosional bahwa telah terjadi ketidakpintaran dalam melakukan kebohongan publik secara bersama-sama dari pejabat pemerintah pada masyarakat.
2. Program TKS adalah program lama pemerintahan SBY dengan sedikit dimodifikasi. Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebagai nama baru dari Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebagai nama baru dari Program Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sebagai nama baru dari Program Kartu Perlindungan Sosial (KPS). Jika hal ini benar, maka sebaiknya pemerintah Jokowi memberikan informasi yang seragam bahwa program TKS adalah bukan program baru namun sebuah kegiatan melanjutkan program pemerintahan sebelumnya dengan sedikit modifikasi.
3. Sumber anggaran pengadaan kartu dan pelaksanaan program untuk tahun ini berasal dari APBN Tahun 2014 bukan dari CSR (corporate social responsibility), dan akan dilanjutkan menggunakan APBN 2015 yang sudah dirumuskan pemerintah sebelumnya untuk kelanjutan prorgam pada tahun depan. Jika hal ini benar, maka sebaiknya pemerintah menjelaskan mata anggaran dalam DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) APBN 2014 yang berkaitan dengan program tersebut sebagai upaya transparasi pemerintah. Sebab belum ada pernyataan dari pejabat pemerintah yang menyatakan program tersebut berasal dari APBN yang menjelaskan mata anggaran DIPA program.
4. Pengadaan kartu tidak dilakukan melalui tender terbuka tetapi melalui penunjukan langsung (PL) atau pemilihan langsung (PML), sebab jarak antara pengadaan kartu dan pelantikan presiden terlalu dekat yang tidak memungkinkan dilaksanakannya prosedur tender terbuka. Jika ini benar, maka sebaiknya pemerintah Jokowi atau pejabat terkait dapat memberikan landasan hukum yang digunakan dalam menetapkan metode pengadaan PL atau PML tersebut sesuai dengan perundang-undangan tentang aturan pengadaan agar mampu menunjukkan motto jujurnya dan menghindari dugaan-dugaan terjadinya kolusi yang bisa melemahkan pemerintahan beliau. Terlebih lagi dengan adanya informasi bahwa pengadaan pembuatan kartu ‘diberikan’ kepada CV Grammi Communication Technology milik Bimo Sarashadi yang disinyalir sebagai Michael Bimo Putranto yang notabene sedang terlibat dalam kasus Bus Transjakarta seperti dilansir oleh CV Pemenang Proyek dan Link PKS Piyungan
Saya pribadi sangat apresitif terhadap langkah pemerintah Jokowi untuk menyegerakan pelaksanaan Program TKS tersebut. Namun jika dilakukan dengan tergesa-gesa maka hasilnya akan mejadi tidak optimal bahkan bisa menjadi kontraproduktif. Hal-hal yang sebaiknya diperhatikan dalam pelaksanaan program tersebut adalah:
1. Penguatan landasan hukum yang digunakan dalam pelaksanaan program, baik dalam hal penganggaran, teknis pelaksanaan, atau pun hal lain yang berkaitan.
2. Penegasan bahwa program TKS adalah kelanjutan program pemerintahan sebelumnya.
3. Efektifitas sosialisasi program kepada semua pihak baik yang berkaitan dengan landasan hukum yang digunakan, anggaran yang dipakai, proses pengadaan yang dilakukan, hingga penjelasan pelaksanaan program itu sendiri.
4. Perbaikan sistem pelaksanaan program sehingga tidak tumpang tindih dengan program-program sejenis untuk mengurangi ketidakefetifan kegiatan termasuk pemborosan anggaran negara.
5. Menghindari pernyataan atau upaya yang mengarah pada pembenturan legistatif dengan rakyat. Semisal jika ada yang menanyakan landasan konstitusional dan sebagainya adalah seakan-akan tidak berpihak pada rakyat.
Semoga saja ke depan pemerintah Jokowi tidak hanya mampu mendesain program-program kerja yang bagus, namun mampu juga berkomunikasi efektif dengan rakyatnya berkaitan dengan program-program tersebut.
Niat baik seharusnya dilakukan dengan cara yang baik untuk menghasilkan yang baik pula. Jika niat baik tidak dilakukan dengan cara yang baik, maka akan cenderung menghasilkan sesuatu yang tidak baik. Begitupula sebaliknya suatu cara yang tidak baik dengan hasil yang tidak baik cenderung berawal dari niat yang tidak baik.
Seperti halnya radiasi nuklir, niat adalah sesuatu yang tersembunyi namun bisa dibaca dan dirasakan dampaknya. Dan salah satu cara untuk membaca niat yang baik adalah kualitas KEJUJURAN dan KETERATURAN pada aturan.
Wallahu a’lam…
No comments:
Post a Comment