PARADIGMA PEMIKIRAN KEAGAMAAN DALAM MEMBANGUN PERADABAN MANUSIA YANG LEBIH BAIK MELALUI KONSEP TEKNOLOGI INFORMASI
(Tinjauan Pemikiran dalam Epistemologi Hukum Islam)
Oleh: Drs. A. Dahlan, M.Ag *)
A. PENDAHULUAN
Manusia adalah hewan yang berfikir (man as the animal that reasons), demikian pandangan Aristoteles dalam merumuskan hakekat perbedaan antara manusia dengan binatang. Dalam ilmu Mantik (logika) ditemukan rumusan tentang manusia, sejalan dengan pandangan Aristoteles tersebut, yaitu : “Al-insan hayawan nathiq”, yang artinya : Manusia itu adalah hewan yang nathiq, yang mengeluarkan pendapat, yang berkata-kata dengan menggunakan fikirannya. Tegasnya, manusia adalah makhluk yang berfikir, bahkan Rene Descartes (1596 – 1650), seorang filosof penyangsi modern, berkata : “Saya berfikir sebab itu saya ada” (Cogito ergo sum) (Anshari, 1990 : 14 – 15).
Beerling, sebagaimana dikutip oleh Endang Syaefuddin Anshari (1989 : 4 – 5) mengatakan, “Sartre, filosof eksistensi Perancis dewasan ini malah mengatakan bahwa kesadaran manusia adalah bersifat bertanya yang sebenar-benarnya.”
Endang Syaefuddin Ansyari (1989 : 6) menghubungkan antara berfikir dengan bertanya, bahwa hakekat berfikir itu adalah bertanya. Jadi deskripsi tentang manusia ialah : Manusia adalah makhluk yang berfikir. Berfikir berarti bertanya. Bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawaban berarti mencari kebenaran. Mencari jawaban tentang sesuatu artinya mencari kebeneran tentang sesuatu.
Dari uraian tersebut dapatlah kiranya disimpulkan bahwa manusia itu pada hakekatnya adalah makhluk pencari kebenaran. Jika demikian adanya, maka sesungguhnya manusia adalah pencari kebenaran hakiki.
Dalam pada itu, menurut keterangan sejarah dialektika teologi Islam, keluasan berfikir manusia dalam menentukan kebenaran hakiki akan sesuatu tertentu mempunyai keterbatasan. Akal sebagai sarana berfikir tidak mampu mengidentifikasikan Tuhan, kecuali sifat-sifaf-Nya. Akal juga tidak dapat mengetahui cara yang tepat menyembah Tuhan atau berterimakasih kepada Tuhan (Nasution, t.t. : 96 – 97).
Generalisasi yang berkembang adalah bahwa sesungguhnya manusia itu tidak dapat mengetahui kebenaran hakiki. Kenyataan ini menjadi kausa bagi munculnya thesa bahwa pada manusia ada potensi dasar kecuali berfikir, yaitu kepercayaan.
Percaya ialah sifat dan sikap membenarkan sesuatu atau menganggap sesuatu sebagai benar ( Ansyari, 1990 : 125 ).
Keterbatasan berfikir dalam menemukan kebenaran hakiki, membuat kegiatan pikir acap berdampingan dengan kepercayaan terhadap suatu keterangan yang bukan merupakan produk pikir. Bisa jadi keterangan yang dominan dipercaya oleh manusia adalah keterangan agama, sebab agama tidak saja menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh akal, tetapi ia banyak berhubungan dengan hati, (Ansyari, 1990 : 120-122;Trueblood, 1965 : 2 – 5).
Manusia yang nenercayai keterangan agama, dapat disebut sebagai insan beragama. Bahkan mungkin tidak berlebihan jika ia disebut sebagai pengabdi Tuhan yang padanya tidak akan ditemukan kekacauan. Akan tetapi manusia seperti ini, sehubungan dengan apresiasinya yang dominan terhadap keterangan agama, pada tataran tertentu bisa berada dalam subjektifitas pikir dalam melihat suatu produk peradaban, apalagi peradaban kekinian. Hal ini terjadi, mungkin karena produk peradabab dimaksud tidak tertuang dalam keterangan teks-teks agama. Dampaknya. Bisa jadi agama seperti memebri kontribusi atas kemandegan peradaban.
Uraian tadi memunculkan masalah, yaitu : Produk peradaban manusia tidak selalu tertuang dalam teks-teks ajaran agama. Sedangkan agama merupakan sarana konsultasi bagi manusia, sebab keterangan agama mempunyai muatan kebenaran yang lebih tinggi daripada keterangan akal pikiran manusia.
Adapun pertanyaan perumusan masalah yang mengemuka adalah:
1. Bila suatu produk peradaban tidak tertuang dalam teks-teks agama, apakah berarti agama tidak menghendaki dinamika peradaban manusia ?
2. Bila agama menghendaki keteraturan atau kebaikan bagi manusia, sedang ia dengan akalnya tidak selalu dapat menemukan kebaikan atau kebenaran hakiki atas suatu tertentu, sementara teks-teks agama tidak menjelaskannya, maka bagaimanakah seharusnya prosedur pemahaman terhadap ajaran agama ?
B. PROSEDUR PEMAHAMAN ATAS AJARAN AGAMA
1. Sifat Berlakunya Ajaran Agama
Berikut ini penulis paparkan pemikiran analitik Prof. DR. Syuhudi Ismail (1994 : 3). Di dalam al-Qur`an suratal-Maidah (5) ayat 3 Tuhan menjelaskan : Agama Islam adalah agama yang sempurna; Ia telah melimpahkan karunia nikmat-Nya secara tuntas ke dalam agama itu; dan Ia rela Islam dijadikan sebagai agama yang berlaku untuk semua umat manusia.
Pertanyaan Tuhan ini, memberi petunjuk bahwa agama Islam selalu sesuai dengan segala waktu dan tempat. Serta untuk semua umat manusia dalam segala ras dan generasinya.
Dalam pada itu, masyarakat manusia pada setiap generasi dan tempat, selain memiliki berbagai kesamaan juga memiliki berbedaan dan kekhususan. Perbedaan dan kekhususan itu mungkin disebabkan oleh perbedaan waktu dan atau mungkin disebabkan oleh tempat.
Jika ajaran Islam yang sesuai dengan segala waktu dan tempat ini dihubungan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat tersebut, maka berarti di dalam Islam ada ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan atau tempat tertentu. Jadi dalam Islam ada ajaran yang bersifat universal, ada yang temporal, dan ada yang lokal.
Menurut Al-Qur`an surat Saba (34) ayat 28, Nabi Muhammad SAW. Diutus oleh Tuhan untuk semua umat manusia :”28. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan,…”- (Soenarjo dkk, 1990 : 688) Selain itu sebagia rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Anbiya (21) ayat 107 : _“107, Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam;” (Soenarjo dkk, 1990 : 508). Hal ini berarti kehadiran Nabi Muhammad SAW. membawa kebajikan dan rahmat bagi semua umat manusia dalam segala waktu dan tempat.
Dalam pada itu, hidup beliau faktanya dibatasi oleh waktu dan tempat. Kalau begitu ajaran Nabi Muhammad SAW yang merupakan salah satu sumber utama agama Islam setelah al-Qur`an yang sekaligus penjelas atasnya, mengandung ajaran yang sifatnya universal, temporal, dan lokal pula.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari deskripsi logik ini adalah bahwa dalam ajaran Islam ada ajaran yang sifat berlakunya universal, temporal dan lokal. Asumsi ini bila ditarik ke dalam konteks prosedur pemahaman terhadap ajaran Islam, maka merekomendasikan cara memahami ajaran agama yang tertuang dalam Al-Qur`an dan Hadits dengan pola mengidentifikasi mana ajaran yang sifat berlakunya universal, temporal, dan lokal.
Untuk memasuki pemahaman yang lebih mendalam atas kesimpulan tersebut, maka perlu melihat konsep al-Syathibi tentang mashlahat. Menurutnya, ajaran Islam yang sifat berlakunya universal adalah ajaran Primer (pokok dan musti), yaitu : Mashlahat aspek Dharuriyat, ia harus berlaku di berbagai ruang dan waktu. Sedangkanm ajaran Islam yang sifat berlakunya temporal dan lokal adalah ajaran Sekunder dan ajaran Tertier, yaitu : Mashlahat aspek Hajiyat dan Mashlahat aspek Taksiniyat. Ia tidak harus berlaku diberbagai ruang dan waktu tetapi berlaku menurut ruang dan waktu tertentu. Adanya ajaran yang bersifat Sekunder adalah untuk keperluan sebagai media bagi tetap terlaksananya yang Primer. Adapun adanya ajaran yang bersifat Tertier adalah untuk terbangunnya keindahan, lagi baik dalam pelaksanaan yang Primer dan Sekunder.
Makna filosofis adanya dua sifat ajaran tersebut bila ditarik kedalam konteks pemahaman teks-teks agama adalah suatu kebijakan yang mengandung ajaran agar syariat Islam tidak selalu harus dipahami secara tekstual. Pemetaan terhadap dimensi ajaran agama ini adalah untuk menghilangkan keketatan makna harfiah yang pelaksanaannya membawa rintangan atau bahkan kerusakan.
Pada tingkat teknis, dalam proses memahami ajaran agama, harus menggunakan pola mengidentifikasi mana ajaran Primer, Sekunder, dan Tertier. Untuk kemudian didahulukan ajaran yang berdimensi Primer ketimbang lainnya. Dalam pengertian, tidak di benarkan melaksanakan yang Sekunder dan atau Tertier untuk menghilangkan yang Primer. Atau sebaliknya, melaksanakan yang Primer sedang aspek Sekunder dan aspek Tertier tidak dipertimbangkan sama sekali. Sebab bila demikian, maka ajaran agama ada dalam kekakuan, tidak memasuki demensi mashlahat (kebaikan) yang diperhitungkan Tuhan, yaitu : kebijakan agama yang nyata-nyata membuat baik manusia, baik lahir maupun batin.
Contoh penerapan konsep ini ialah sebagai berikut : Puasa Ramadhan perlu dilakukan oleh setiap muslim demi terciptanya kebaikan bagi dirinya melalui proses berbuat baik kepada Tuhan dan sesama (aspek Dharuriyat/Primer). Secara ritual, seseorang dibenarkan meninggalkannya untuk diganti pada bulan selain Ramandhan demi keselamatan fisik karena berpergian (aspek Hajiyat/Sekunder). Dalam suatu pengertian, tidak dibenarkan meninggalkan puasa karena alasan tersebut untuk kemudian tidak diganti pada hari di luar Ramandhan. Dalam pada itu sepanjang ia dalam keadaan berbuka oleh dispensasi tersebut, tidaklah ia di pandang baik jika berperilaku sebagaimana lazimnya orang yang tidak berpuasa (aspek Tahsiniyat/Tertier) seperti : tidak cakap dalam bersikap baik pada Tuhan atau sesama; makan atau minum di tempat umum; apalagi berhubungan suami istri di siang hari.
Dari ilustrasi tersebut, dapatlah ditangkap bahwa ajaran agama menurunkan kebijakan berdimensi Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat dalam proses pelaksanaan taklif, tak lain merupakan suatu wujud perhatiaan Tuhan terhadap hamba atas kebutuhan riel-nya (biologis dan psikologis). Tuhan memperhitungkan apa yang paling baik bagi kebutuhan nyata hamba-Nya di ruang waktunya masing-masing, sehingga ajaran agama yang pada tingkat pelaksanaannya membawa rintangan, kesulitan, atau bahaya dapat ditolerir untuk ditinggalkan. Maksudnya, tidaklah suatu ajaran agama mesti diterapkan secara litterluks, hal ini demi mengikuti kebutuhan hamba berdasarkan ruang dan waktunya (Al-Syatiby, juz, II : 7 – 12 ; masud, 1996 : 324 – 327)
Kesimpulan yang segera diperoleh ialah bahwa sistem memahami ajaran agama sebaiknya tidak harus melulu harfiah dan parsial, atau berada dalam keketatan harfiahisme dan atau mengikuti keterangan eksplisit teks-teks agama yang khusus, sehingga suatu persoalan yang tidak dibahas secara tersurat oleh teks ajaran menjadi tidak ada tempat dalam agama. Sebaliknya, hendaknya suatu ajaran dipetakan berdasarkan sifat berlakunya atas tiga dimensi tadi. Prosedur berfikir dengan sistem ini, memberi ruang pada pemahaman terhadap ajaran agama secara substansial dan kontekstual. Artinya, bahwa suatu produk pikir atau peradaban sepanjang memberi kontribusi bagi kebaikan manusia kendatipun tidak ada pembenaran secara eksplisit dalam teks-teks agama tetap dipandang bermuatan spirit agama.
2. Posisi Ajaran Agama dalam Proses Pembentukan Kebijakan Fikir
Ajaran agama yang sifat berlakunya universal adalah aspek Dharuriyat (Primer), sedangkan ajaran agama yang sifat berlakunya temporal dan lokal adalah aspek Hajiyat (Sekunder) dan aspek Tahsiniyat (Tertier). Ketiga aspek ini merupakan tujuan agama yang kemudian oleh al-Syathibiy (juz I, t.t : 7 – 11) disebut Maqashid al-Syari’ah atau mashlahah (perlindungan kepentingan)
Aspek Dharuriyat ( Primer) ialah tujuan agama yang mesti ada demi adanya kehidupan. Apabila aspek ini tidak tercapai, maka akan menimbulkan kerusakan bagi kehidupan manusia di dunia dan akherat. Kebutuhan hidup yang Primer ini hanya bisa tercapai bila terpelihara lima tujuan agama (Dharuriyat Khams). Kelima tujuan agama tersebut ialah : (1) Memelihara agama, (2) Memelihara jiwa, (3) Memelihara akal, (4) Memelihara keturunan atau kehormatan, dan (5) Memelihara harta.
Aspek Hajiyat (Sekunder) dipertimbangkan agar aspek Dharuriyat (Primer) terselenggara. Ia dibutuhkan untuk memperluas (tawassu’) tujuan agama yang Primer dan untuk menghilangkan keketatan makna harfiah yang penerapannya membawa kepada rintangan dan kesulitan yang akhirnya menimbulkan kerusakan Primer yang berarti kerusakan manusia (Maqashid atau mashlahah : Tujuan agama). Jadi jika Hajiyat (Sekunder) tidak dipertimbangkan bersama dengan Dharuriyat (Primer), maka manusia secara keseluruhan akan menghadapi kesulitan, akan tetapi rusaknya Hajiyat tidaklah merusak seluruh aspek mashlahat (tujuan agama) Sebagaimana Dharuriyat, jika ia rusak, rusaklah seluruh aspek tujuan agama.
Aspek Tahsiniyat (Tertier) ialah tujuan agama yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa yang baik atau sesuai (paling layak) menurut kebiasaan (adah) dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat atau menghindari cara-cara yang tidak lazim dilakukan oleh orang bijak.
Ketiga aspek tujuan agama ini harus terintegral, menjadi orientasi menusia dalam mengarungi hidup, dengan tidak hanya mengambil salahsatu dari ketiganya. Pada tingkat teknis, sistem yang harus dikembangkan dalam proses pencapaiannya adalah dengan menjadikan yang Primer sebagai prioritas utama. Agar aspek Primer terpenuhi, maka setiap rintangan bagi pencapaian terhadapnya, seperti kesempitan yang dihadapi seseorang, harus diluaskan. Penerapan prinsip yang disebut terakhir, merupakan penerapan aspek Sekunder (Hajiyat), ia adalah penunjang bagi tercapainya yang Primer (Dharuriyat). Sementara itu pelaksanaan yang Primer dan Sekunder tetap dalam kerangka penerapan yang Tertier pula. Hal ini ditujukan agar kehidupan terbagun dalam keelokan. Pada tahap berikutnya, mesti mengemuka suatu pemahaman bahwa tidak dibenarkan mengedepankan salahsatu dari ketiga aspek tersebut dengan menafikan yang lainnya, seperti menegakan yang Tertier, tetapi yang Primer dan atau Sekunder tidak dilaksanakan.
Dalam pada itu, pola pencapaian atau perlindungan kepentingan atas tujuan agama ini, mengambil bentuk dengan dua cara yaitu : Perlindungan positif (penyelenggaraan) dan preventif (pencegahan hilangnya mashlahat : Tujuan agama). Tujuan ibadah merujuk kepada pemeliharaan agama, seperti : Iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, mengeluarkan zakat, melaksanakan puasa Ramadhan, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tujuan muamalah merujuk kepada pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan tujuan pidana, yang meliputi amar ma`ruf nahi munkar, merujuk kepada keseluruhan tujuan agama yang lima (aspek Primer).
Berikut in adalah contoh bentuk pencapaian aspek Primer dengan cara perlindungan positif (penyelenggaraan) dan preventif (pencegahan):
1. Pemeliharaan agama, tingkat penyelenggaraannya adalah harus adanya keimanan. Sedangkan pada tingkat preventif dalam rangka memelihara agama adalah kewajiban berjihad.
2. Pemeliharaan jiwa, tingkat penyelenggaraannya adalah dibolehkan makan dan minum, tempat tinggal, dan apa saja yang dapat terselenggaranya kehidupan. Sedangkan pada tingkat preventif dalam rangka memelihara jiwa adalah adanya hukum diyat dan qishas
3. Pemeliharaan akal, tingkat penyelenggaraannya seperti apa yang diajarkan dalam pemeliharaan jiwa. Sedangkan tingkat preventif dalam rangka memelihara akal adalah dilarang mabuk-mabukan dan segala akibatnya.
4. Pemeliharaan keturunan, tingkat penyelenggaraannya adalah diajarkannya nikah, hadhanah (memelihara), dan nafakah. Sedangkan tingkat preventif dalam rangka memelihara keturunan adalah dilarangnya berzina dan pelaksanaan had atasnya
5. Pemeliharaan harta, tingkat penyelenggaraannya adalah diajarkannya segala bentuk muamalah di antara manusia. Sedangkan tingkat preventif dalam rangka memelihara harta adalah diharamkannya mencuri dan segala akibat-akibatnya.
Adapun tercapainya aspek Sekunder, sebagai penyanggah tujuan Primer dalam:
1. Ibadah, sebagai bentuk penyelenggaraan pemeliharaan agama, bila dalam prosesnya terdapat kesempitan, maka dibolehkannya untuk mengambil dispensasi (rukhshah)
2. Adah dan muamalah, sebagai bentuk penyelenggaraan pemeliharaan jiwa, akal, keturunan dan harta, dibangun kebijakan agar mengambil bentuk yang paling mudah dalam perolehan keempat hal tersebut. Dalam pengertian lain, bila dalam proses pemeliharaan keempatnya terdapat kesempitan atau kesulitan, maka dalam : (a) Adah, dibolehkannya berburu dan menikmati segala yang baik-baik selama hal itu dihalalkan, baik berupa makanan, minuman, sandang, papan, dan sebagainya. (b) Muamalah, dibolehkan qirod (memberi hutang), musaqah (asosiasi pertanian) yakni sistem kerjasama dalam pertanian berupa bagi hasil atau paroan, dan salam yakni sistem jual beli melalui pesanan dan pembayaran di muka atau di kemudian hari setelah terjadi penyerahan barang.
3. Pidana, sebagai bentuk penyelenggaraan pemeliharaan aspek Primer secara keseluruhan (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) bila dalam prosesnya terdapat kesempitan, maka seorang hakim dalam beracara dibolehkan mengambil keputusan atas bukti yang lemah dan tak mencukupi demi kepentingan umum.
Sedangkan tercapainya aspek Tertier yang merupakan sarana bagi kebijakan ajaran agama agar proses penyelenggaraan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta ada dalam keindahan, maka bentuknya dalam :
1. Ibadah dicerminkan dengan adanya ketetapan hukum bersuci (thaharah), menutup aurat, mensucikan dan membersihkan najis, berhias, melaksanakan kebaikan dalam bentuk shadaqah, dan sebagainya.
2. Adah tercermin dengan adanya hukum dan etika tentang bagaimana seharusnya makan dan minum, dianjurkannya tidak berlebih-lebihan (isyraf) dalam berbagai hal terutama dalam adah (kebiasaan), dan sebagainya.
3. Muamalah tercermin dari adanya larangan menjual barang najis dan sebagainya
4. Pidana tercermin dari adanya ketentuan yang melarang membunuh wanita dalam peperangan dan larangan membunuh seorang merdeka sebagai pengganti budak
Etika-etika tersebut merujuk kepada kebaikan dan keutamaan demi tercapainnya tujuan-tujuan ajaran agama yang bersifat Primer dan Sekunder. Bila aspek Tertier ini tidak tercapai, tidaklah mengakibatkan hilangnya esensi ajaran Primer dan Sekunder (Al-Syathibiy, jilid I, t.t : 9 –10; masud 1996 : 248 – 255; S. Praja, 1995 : 100 – 103).
Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa setiap kebijakan pikir harus mengakomodir ajaran agama yang berdimensi Primer, sehubungan ajaran model ini sifat berlakunya universal menembus berbagai ruang dan waktu. Dalam suatu pengertian, demi terbangunnya aspek ini, maka pada tingkat pelaksanaan hendaknya memperhitungkan kenyataan-kenyataan yang berkembang di suatu ruang dan waktu tertentu. Pengertian selajutnya adalah bahwa fenomena temporal dan lokal dapat menjadi prioritas pilihan dalam suatu kegiatan kebijakan pikir, sepanjang ia memberi kontribusi bagi terbangunnya aspek Primer. Dominan berfikir temporal dan lokal (pendekatan induktif) dibenarkan sepanjang sejalan dengan semangat ajaran agama.
C. KESIMPUAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
a). Menurut faktanya, teks–teks agama merespon fenomena ruang dan waktu masa–masa awal saat suatu agama dibangun. Kenyataan ini bila dilihat dari sudut ruang dan waktu berikutnya, mendesak bagi adanya sistem pemikiran pemetaan ajaran agama kepada sifat berlakunya atas dimensi universal, temporal dan lokal.
Implikasi pemahaman yang mengemuka adalah bahwa ajaran yang berdimensi universal merupakan ajaran Primer. Sedangkan ajaran berdimensi temporal dan lokal merupakan ajaran Sekunder dan Tertier.
Hal itu berarti bahwa pelaku kebijakan pikir diberi sarana untuk menemukan apa yang terbaik berdasarkan ruang dan waktunya, sepanjang temuan kebijakan berdimensi temporal dan lokal tersebut memberi ruang bagi terlestarinya ajaran Primer.
Dengan demikian, sesungguhnya agama membenarkan suatu dinamika peradaban.
b). Posedur pemahaman atas ajaran agama yang lazim dikedepankan dalam membangun kebaikan manusia adalah dengan pendekatan induktif (metode Induktif)
2. Rekomendasi
Penerapan teknologi informasi adalah wilayah keduniaan yang prosedur pembenaranya lazim diproses berdasarkan perhitungan mana yang dominan manfaatnya bagi ruang dan waktu tertentu, dengan tanpa menafikan penerapan ajaran agama yang Primer.
Adapun pola penelitian yang dapat membenarkan penerapan teknologi informasi yang merepresentasikan muatan ajaran Primer, Sekunder, dan Tertiar adalah sebagai berikut :
a). Apakah teknologi informasi memberikan kontribusi bagi terealisasinya sekurang-kurangnya salahsatu dari ajaran Primer?
b). Apakah telah terdapat fakta dan atau data bahwa penerapan teknologi informasi benar-benar mendatangkan manfaat, dalam arti dapat mengentaskan kerusakan?
c). Apakah teknologi informasi memberikan manfaat bagi sebagian besar orang, bukan sebagian orang tertentu saja?
d). Apakah teknologi informasi dipastikan dapat memberikan kemudahan bagi kepentingan tertentu?
Adapun temuan sementara yang ter-cover adalah sebagai berikut:
a). Teknologi informasi memberi kontribusi bagi perlindungan agama (salah satu aspek Primer). Aspek Preventif dalam rangka memelihara agama adalah berjihad. Sedangkan teknologi ini dapat menjadi sarana jihad dalam bentuk mengikuti perkembangan peradaban. Sebab betapa seperti terpuruknya suatu agama jika pemeluknya ada di garis terbawah, padahal kenyataan keterbelakangan tidak mengelokan bagi perspektif dakwah.
b). Teknologi informasi memberi kontribusi bagi efektivitas dan efensiensi kerja. Dampaknya akan terbangun volume kerja yang baik dan proporsional.
c). Teknologi informasi memberi kontribusi bagi terbangunya manfaat atas kebanyakan orang. Misalnya, jika ia terterapkan di suatu lembaga jasa, maka banyak orang terlayani tanpa harus memakan banyak waktu.
d). Teknologi informasi memberi kontribusi atas terciptanya kemudahan. Karena teknologi ini memepunyai beberapa fasilitas, di antaranya : Menyimpan data secara valid dan seseorang tidak memerlukan waktu relatif banyak saat membutuhkan data yang tersimpan di dalamnya.
D. DAFTAR PUSTAKA
Abu Ishaq al-Syathibiy
t.t. Al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’ah, juz 1, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut.________________
t.t. Al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’ah, juz 2, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut.
David Trueblood
1965 Pilosphy of Religion, Terjemah, Bulan Bintang, Jakarta.
H. Endang Syaefudin Anshari, MA
1989 Kuliah Al-Islam, CV. Rajawali, Jakarta._________________________
1990 Ilmu, Filsafat dan Agama, PT.Bina Ilmu, Surabaya.
Prof. Dr. Harun Nasution
t.t. Teologi Islam, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Dr. Juhaya S. Praja
1995 Filsafat Hukum Islam, LPPM Universitas Islam Bandung, Bandung.
Mohammad Khalid Masud
1996 Filsafat Hukum Islam, Terjemah, Pustaka, Bandung.
Prof. Dr. Pudjawijatna
1967 Tahun dan pengetahuan, Pengantar Keilmu dan Filsafat, Tanpa Penerbit.
Soenarjo Dkk
1990 Al-Quran dan Terjemahan, Mujamma`Khadim al-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf asy-Syarif, Medinah.
Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail
1994 Hadis Nabi yang Tekstual dan Konstektual, Bulan Bintang, Jakarta.
* ) Penulis adalah Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon dan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Cirebon
No comments:
Post a Comment