Salah satu budaya di desa saya ketika kondangan adalah beras dijadikan 'transaksi angpao kondangan' oleh para undangan dan pemilik hajat. Beras ini akan dikembalikan dengan jumlah yang sama ketika para undangan pada suatu saat nanti menjadi sebagai pemilik hajat. Dengan kata lain, proses 'kondangan beras' di desa saya bisa dikatakan sebagai bentuk arisan.
Ada satu hal menarik yang kita bisa cermati dari pola kondangan beras tersebut. Mengapa mereka memilih beras, bukan uang sebagai 'media arisan kondangan'. Hal ini bisa jadi karena dilatarbelakangi oleh para orang terdahulu sudah meyakni bahwa nilai beras tidak akan berubah sementara nilai uang sebagai alat tukar bisa berubah.
Ketika Si A memberikan 100 kg beras sebagai kondangan saat diundang hajatan oleh Si B, maka ketika Si A mengadakan hajatan semisal 5 tahun kemudian, Si B pun akan memberikan kondangan 100 kg beras pula dengan kualitas yang sama.
Coba kita bayangkan jika Si A memberikan uang senilai Rp 500.000 sebagai pengganti 100 kg beras saat kondangan itu, dan si B pun memberikan Rp 500.000 pada 5 tahun kemudian di hajatan Si A. Maka 'nilai uang 500 ribu' si B pasti lebih rendah dari Si A.
Namun sepertinya pada kalangan remaja atau generasi zaman sekarang justru nilai-nilai kepahaman dari generasi terdahulu di kampung tentang uang sebagai sekedar alat tukar ternyata mulai berubah. Generasi sekarang hanya ingin berfikir praktis, tidak mau repot membawa beras. Padahal justru perubahan dari beras ke uang dalam sistem kondangan arisan di kampung malah akan menjadi persoalan baru dalam berkehidupan masyarakat.
Tragedi Yunani adalah salah satu dari dampak global akibat uang dijadikan sebagai komoditi bukan sebagai alat tukar sementara. Uang kertas yang tak bernilai dicetak untuk dibungakan. Bahkan alat tukar pun seharusnya senilai dengan barang atau jasa yang kita transaksikan.
Uang terus menerus dicetak dan ditambahkan berlipat-lipat sementara produktivitas barang dan jasa menurun. Akibatnya Yunani terjerat oleh 'perdagangan utang atau pengkomoditian uang' yang harus dibayarkan oleh negara kepada lembaga pemberi utang. Sungguh memprihatinkan.
Video berikut menjelaskan tentang gagalnya sistem ekonomi berbasis Uang Fiat.
Mari kita kembali pada suasana 'zaman dulu' dimana barang dijadikan sebagai sesuatu yang lebih berharga daripada uang. Uang hanya lembaran kertas yang difungsikan sebagai alat tukar. Bukan komoditi. Maka jangan sekali-kali membuat nilai uang menjadi bertambah mengikuti waktu, karena uang bukan 'barang' yang harus dijual-belikan. Dan melipatgandakan nilai uang sangat dekat dengan aktiitas riba atau bahkan riba itu sendiri. Terkecuali uang tersebut dicetak dalam bentuk barang yang berharga seperti kepingan dinar atau logam berharga lain.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa.” (QS. al-Baqarah [2]: 275-276)
wallahu a'lam
No comments:
Post a Comment