Tidaklah mudah bagi saya untuk sepenuhnya bersikap netral dan obyektif membahas kebijakan Orde Baru terhadap Masyumi dan Islam, sebagaimana yang diminta oleh Republika, apalagi waktu yang diberikan untuk menulisnya sangatlah terbatas, kurang dari sehari. Karena itu, saya menuliskan artikel ini hanya berdasarkan ingatan saya belaka.Saya katakan sukar untuk bersikap netral dan obyektif karena sedikit-banyaknya saya terlibat dalam episode sejarah itu, baik langsung maupun tidak langsung. Ketika saya berumur hampir lima tahun, saya menyaksikan ayah saya dan sejumlah tokoh Masyumi lokal, menurunkan papan nama partai itu, karena mereka dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno, pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Apa yang ada di kepala orang Masyumi waktu itu ialah Soekarno mulai menjadi diktator dan negara makin bergerak ke arah kiri. Dalam perhitungan mereka, tanpa Masyumi, maka kekuatan PKI akan semakin besar dan sukar dibendung. PNI sebagai representasi kelompok nasionalis, telah dintrik dan diintervensi oleh kekuatan kiri melalui kelompok Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Kendatipun memiliki basis massa yang besar, elit politisi NU dibawah pimpinan Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri, takkan kuat menghadapi Soekarno dan PKI sendirian. Apalagi, makin nampak kecenderungan akomodatif NU untuk menerima posisi representasi kelompok agama dalam poros Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), suatu hal yang ditentang keras oleh Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi memang dihadapkan pada dilema dengan Keppres 200/1960 itu. Menolak melaksanakan pembubaran diri, berarti secara hukum, partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Karena itu, mereka memilih alternatif yang juga tidak menyenangkan yakni membubarkan diri, dengan harapan suatu ketika partai itu akan hidup kembali, jika situasi politik telah berubah. Prawoto sendiri mengatakan, Keppres 200/1960 itu ibarat vonis mati dengan hukuman gantung, sementara eksekusinya dilakukan oleh si terhukum itu sendiri. Memang terasa menyakitkan.
Meskipun Masyumi telah membubarkan diri, dan tokoh-tokohnya yang terlibat dalam PRRI telah memenuhi panggilan amnesti umum dan mereka menyerah, namun perlakuan terhadap mereka tetap saja jauh dari hukum dan keadilan. Tokoh-tokoh Masyumi yang menyerah itu, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Boerhanoeddin Harahap ditangkapi. Bahkan mereka yang tidak terlibat PRRI seperti Prawoto, Mohamad Roem, Yunan Nasution, Isa Anshary, Kasman Singodimedjo, Buya Hamka dan yang lain, juga ditangkapi tanpa alasan yang jelas. Bertahun-tahun mereka mendekam dalam tahanan di Jalan Keagungan, Jakarta, tanpa proses hukum. Ini terang suatu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan Sukarno. Tokoh utama PSI, Sutan Sjahrir bahkan mendekam dalam penjara di sebuah pulau di lautan Hindia, di sebelah selatan daerah Banten. Dalam kondisi tahanan yang buruk, Sjahrir sakit, sampai akhirnya wafat walau mendapat perawatan di Swiss. Tokoh PSI yang lain, Soebadio Sastrosatomo dan Hamid Algadri juga ditahan. Perlakuan terhadap anak-anak dan keluarga orang Masyumi di masa itu hampir sama saja dengan perlakuan keluarga PKI di masa Orde Baru. Ketika itu PKI sedang jaya. Ketika mereka sedang jaya, mereka juga membantai orang-orang Masyumi di Madiun tahun 1948, dan menculik dan menghilangkan paksa orang-orang Masyumi di Jawa Barat dan tempat-tempat lain. Hendaknya sejarah jangan melupakan semua peristiwa ini. Di era Reformasi sekarang, banyak aktivis HAM hanya berbicara tentang orang-orang PKI pasca G 30 S yang menjadi korban pembantaian Orde Baru, tetapi mereka melupakan orang-orang Masyumi yang menjadi korban pembantaian dan penghilangan paksa PKI, ketika mereka masih jaya-jayanya.
Sebab itulah, ketika Orde Lama runtuh pasca Gerakan 30 September 1965, ada secercah harapan di kalangan keluarga besar Masyumi agar mereka hidup dan berkiprah kembali. Presiden Soekarno yang dianggap berbuat sewenang-wenang kepada Masyumi dengan dukungan PKI, dicabut kekuasaannya oleh MPRS pada tahun 1967. Sama seperti Soekarno yang membubarkan Masyumi, Soeharto juga membubarkan PKI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPRS. MPRS bahkan mengamanatkan kepada Pejabat Presiden Soeharto untuk mengambil langkah hukum yang tegas kepada mantan Presiden Soekarno. Namun amanat MPRS itu tak pernah dilaksanakan Soeharto sampai akhir hayat Bung Karno dengan alasan “mikul dhuwur mendem jero”. Orde Baru di bawah kepemimpinan Jendral Soeharto mendapat dukungan luas dari umat Islam, dan kedua sayap politik Islam, baik kubu eks Masyumi maupun kubu NU. Dukungan mereka berikan karena sikap tegas Soeharto kepada Komunisme dan langkah-langkah nyatanya untuk memperbaiki ekonomi yang ketika itu sangat morat-marit. Di akhir kekuasaan Soekarno, rakyat hidup mulai kelaparan dan compang-camping akibat inflasi yang tak terkendali. Tiap hari rakyat hanya disuguhi pidato-pidato dan slogan-slogan berapi-api untuk mengobarkan semangat “Revolusi yang belum selesai” dan kegiatan menentang Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme), tanpa upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki nasib rakyat yang sudah lama menderita.
Kebanyakan orang-orang Masyumi itu berpikir strukturalis dan bahkan cenderung formalis. Tak lama sesudah tokoh-tokoh Masyumi dikeluarkan dari tahanan, mereka mulai bergerak untukmerehabilitasi partai itu. Partai adalah alat untuk mencapai tujuan. Karena itu, keberadaan Masyumi adalah keharusan. Dukungan untuk merehabilitasi Masyumi juga datang dari Persahi. Para ahli hukum mengeluarkan statemen yang ditandatangani Dr. Wirjono Prodjokiduro, agar Masyumi direhabilitasi, karena partai itu adalah korban kesewenang-wenangan Orde Lama. Padahal Wirjono pula, yang ketika menjadi Ketua Mahkamah Agung, memberikan fatwa kepada Soekarno tentang keabsahan alasan hukum untuk membubarkan Masyumi berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959 tentang Penyederhanaan dan Pembubaran Partai Politik. Penpres itu sendiri sangat kontroversial, karena tidak ada dasar hukum keberadaannya. Prawoto Mangkusasmito mengatakan bahwa Penpres itu adalah langkah sepihak Presiden Soekarno untuk menyeleksi mana partai yang mendukung Revolusi pro Nasakom dan mana yang menentangnya.
Namun keinginan tokoh-tokoh Masyumi untuk merehabilitasi partainya segera menghadapi tembok penghalang yang kukuh. Soeharto dan para jendral pemegang kendali Orde Baru, ternyata cenderung bersikap anti ideologi. Mereka bukan saja anti Komunis, tetapi juga anti Islam yang ditransformasikan sebagai ideologi dan kekuatan politik. Slogan terkenal Orde Baru sejak kelahirannya ialah “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”. Mereka mempunyai tafsir sendiri terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijadikan doktrin dan pijakan ideologis Orde Baru. Dalam komunikasi politik yang dibangunnya, Orde Baru mengatakan bahwa mereka tidak berorientasi ideologi. Mereka ingin membangun. Mereka cenderung “anti politik” dan mengedepankan langkah pragmatis untuk menyelesaikan persoalan sosial ekonomi yang amat berat. Kekuatan politik baru muncul dibalik Orde Baru, yakni militer dan teknokrat pragmatis, sebagiannya berorientasi ideologis kepada PSI dan kalangan politisi dan teknokrat non Muslim. Sebagai mesin politik, mereka mereorganisasi Sekber Golkar menjadi Golongan Karya (Golkar), yang mereka katakan bukan partai politik seperti halnya partai-partai yang lain.
Meskipun menolak rehabilitasi Masyumi, namun Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Soeharto sedia berkompromi untuk mewadahi kelompok eks Masyumi, dengan memberi peluang kepada mereka mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).Namun penguasa Orde Baru menolak eks tokoh-tokoh Masyumi memimpin partai itu. Jangankan Natsir dan Prawoto, Mohamad Roem yang dikenal sangat moderat, diplomatis dan kompromis juga ditolak. Djarnawi Hadikusuma, tokoh muda Muhammadiyah yang dikukuhkan menjadi Ketua Parmusi juga terganjal, sampai akhirnya dengan dukungan penguasa, partai itu dikomandani oleh Jailani Naro yang tak begitu jelas akar keterlibatannya dalam gerakan politik Islam di masa lalu.
Itulah awal keterlibatan kekuasaan dalam mengintervensi suatu kekuatan politik. Sejak itu, hampir tidak ada partai yang sepenuhnya independen dan berdaulat. Setiap calon pimpinan sebuah partai, memerlukan “restu” atau persetujuan penguasa. Intervensi kekuasaan, baik terang-terangan maupun secara terselubung melalui operasi intelejens, selalu membayangi setiap partai dan gerakan politik manapun juga. Bahkan lebih jauh dari itu, setiap organisasi – termasuk organisasi sosial, kepemudaan dan profesi — gerakan kampus bahkan sampai ke mesjid-mesjid tidak sunyi dari pantauan intelejens. Orde Baru melakukan rekayasa sosial dan politik yang efektif melaluiDwi Fungsi ABRI. TNI dan POLRI bukan saja kekuatan pertahanan dan keamanan, tetapi juga kekuatan sosial dan politik. TNI dan POLRI mendapat jatah kursi di DPR, MPR dan DPRD. TNI melalui Kodam, Kodim dan Koramil, aktif memantau semua gerakan politik, bahkan melakukan intervensi terhadap semua kegiatan itu, demi menjaga “stabilitas nasional” untuk kelangsungan pembangunan.
Meskipun telah menghirup udara bebas, tokoh-tokoh inti Masyumi secara perlahan mulai tersingkir dari panggung politik, sejalan dengan menguatnya Orde Baru. Mohammad Natsir dan rekan-rekannya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan mulai memusatkan perhatian mereka ke bidang dakwah, sambil tetap bersikap kritis kepada Pemerintah Orde Baru. Dulu kita berpolitik, sekarang kita berdakwah. Nanti hasilnya akan sama saja, kata Natsir kepada saya suatu ketika.Natsir mungkin benar. Dakwah Islam akan makin meluas dan tak terbendung, justru ketika kiprah politik mereka menghadapi hambatan. Natsir dan kawan-kawannya mulai menyadari bahwa mereka mulai tua. Mereka mulai berpikir untuk membangun kesadaran keagamaan kepada masyarakat menuju masa depan. Mereka perlu menyiapkan generasi penerus bangsa yang dilandasi semangat dan komitmen Keislaman. Untuk itu dakwah dalam arti seluas-luasnya, terutama di kampus-kampus, harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Orde Baru merancang format politik dan pembangunan Indonesia ke depan secara sistematik dan terencana. CSIS (Center for Strategic and International Studies) menjadi salah satu lembaga kajian yang tersohor dalam merumuskan dan memback-up konsep-konsep pembangunan Orde Baru dengan berbagai rekayasanya. Buku Ali Moertopo yang berjudul “Akselerasi Modernisasi 25 Tahun” yang diterbitkan CSIS adalah salah satu “buku sakti” yang memuat perencanaan itu. Dari buku itu saja suda tergambar bahwa Presiden Soeharto telah dirancang untuk menjadi Presiden minimal 5 periode, atau lima kali Pelita (Pembangunan Lima Tahun) sampai saatnya Indonesia tinggal landas dalam pembangunan ekonomi. Dalam rekayasa politik, partai-partai dikelompokkan berdasarkan program, bukan lagi berdasarkan ideologi. Akhirnya partai-partai Islam berfusi dengan tekanan penguasa ke dalam Partai Persatuan Pembangunan, dan partai-partai nasionalis, Kristen dan Katolik ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Sejak itu selalu dikatakan bahwa di negara kita ini ada dua partai politik dan satu Golongan Karya. Golongan Karya (Golkar) meskipun memenuhi segala syarat dan rukun – kalau menggunakan istilah fikih – untuk disebut sebagai partai politik, menolak menyebut dirinya sebagai partai.
Pancasila menjadi satu-satunya ideologi bagi semua kekuatan politik dan UUD 1945 menjadi landasan operasionalnya dengan tafsiran khas Orde Baru. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila, kata Ali Moertopo, bukanlah tuhan sebagaimana dipahami agama, melainkan tuhan dalam makna politik. Proses sekularisasi Pancasila mulai dicanangkan. Konsepsi ideologis keagamaan mulai dipinggirkan. Namun pada saat bersamaan, secara bertahap konsepsi mistis-Kejawaan mulai menguat, dan berujung dengan munculnya Eka Prasetya Pancakarsa sebagai pedoman pelaksanaan Pancasila melalui Ketetapan MPR tahun 1978, meskipun ditentang keras oleh PPP. Sekularisme dan Javanisme seakan menemukan titik temu dan saling mendukung. Kebatinan Jawa mendapat baju baru yang dinamai Aliran Kepercayaan, sehingga terkesan mendapat legitimasi konstitusional di dalam Pasal 29 UUD 1945. Status Aliran Kepercayaan hampir-hampir mendapat perlakuan setara dengan agama. Soeharto, Ali Moertopo dan Sudjono Humardani berada di balik semua ini. Zahid Hussein, salah seorang pejabat di Sekretariat Negara, menjadi operator penyebar-luasannya.
Orang-orang eks Masyumi dan para pengikutnya sangat khawatir dengan sekularisasi Pancasila dan menguatnya Aliran Kepercayaan ini. Di mata mereka, dibalik semua ini ada grand-design untuk mengelaminir Islam dengan berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan luar, dan kepentingan agama tertentu yang memanfaatkan Soeharto dan Orde Baru. Kelompok ini bukan saja memegang posisi-posisi strategis militer, tetapi juga menguasai pos-pos penting di bidang perekonomian dalam berbagai kabinet Orde Baru. Di kalangan eks Masyumi ada anggapan bahwa militer telah dijauhkan dari Islam. Maraden Panggabean, Soedomo dan Benny Moerdani yang semuanya non Muslim, memainkan peranan penting dan menentukan. Di masa itu ada kesan, bahwa perwira militer yang taat menjalankan agama Islam, sulit untuk mendapatkan promosi. Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih perwira menengah juga mengalami nasib yang sama. Dia dianggap sebagai perwira yang taat menjalankan agama Islam, sehingga beberapa kali promosinya dihambat Benny Moredani. Demikian pula Radius Prawiro, Sumarlin, Adrianus Mooy, dan Sudrajat Djiwandono yang semuanya non-Muslim, cukup lama menduduki posisi kunci pos-pos ekonomi kabinet Orde Baru. Arsitek utama ekonomi Orde Baru, Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, meskipun Muslim, dikenal sangat jauh dari Islam.
Orang-orang eks Masyumi berpikir bahwa jika Aliran Kepercayaan diformalkan, dan seluruh orang Jawa Abangan dikelompokkan sebagai penganut Aliran Kepercayaan dan bukan Muslim, maka Islam di Indonesia bukan saja akan menjadi minoritas dalam politik dan ekonomi, tetapi juga minoritas dalam jumlah. Indonesia tak dapat lagi menyatakan dirinya sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Kekhwatiran ini terasa di mana-mana. Kegiatan dakwah makin gencar dilaksanakan, terutama di kampus-kampus dan kantor-kantor pemerintah untuk mengimbangi kecenderungan anti Islam dalam kebijakan Orde Baru. Istilah Ekstrim Kanan (Islam iedologis) dan Ekstrim Kiri (Komunis) menjadi istilah umum yang selalu dikatakan sebagai bahaya laten yang akan memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Dakwah yang luar biasa gencarnya itu akhirnya mendorong pula suatu perubahan. Secara politik Islam dikalahkan, namun kesadaran keislaman terasa makin menguat di mana-mana. Kesempatan pendidikan yang luas yang diberikan oleh Orde Baru telah membuka peluang anak-anak Muslim, dan lebih khusus lagi, anak-anak orang Masyumi untuk menempuh pendidikan. Tanpa disadari jumlah mereka sangat besar. Mereka mulai mengisi jajaran birokrasi, militer dan kekuatan politik yang secara resminya sebenarnya was-was dengan Islam Ideologis dan gerakan politik Islam. Anak-anak orang Masyumi seperti Feisal Tanjung dan Syarwan Hamid mulai menanjak karier militernya. Akbar Tanjung dan Abdul Gafur menjadi tokoh muda Golkar dan Ridwan Saidi menjadi muda tokoh PPP. Di kampus-kampus muncul kaum intelektual yang berasal dari anak-anak orang Masyumi. Keadaan ini mulai menggeser peranan intelektual yang dulunya selalu diklaim dan didominasi oleh orang-orang PSI.
Meskipun telah lahir kekuatan baru Islam yang berwajah non politik, namun tekanan terhadfap Islam terus berlangsung, terutama ketika Dr. Daoed Joesoef — salah seorang tokoh CSIS — diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dia sangat tersohor dengan konsep NKK/BKK dan mengeliminir unsur Islam dalam pendidikan nasional kita. Saya masih ingat suatu ketika, Professor Slamet Imam Santoso dan Professor Selo Sumardjan mengatakan kepada saya kekecewaannya dengan terhadap sikap Pemerintah Orde Baru yang mereka nilai menekan Islam. “Lha, walau saya ini cuma Islam abangan, yang nggak pernah solat, tetapi kalau Islam itu dimacem-macemin, saya juga tidak rela”, kata Professor Selo suatu ketika. Sebagai orang Islam, kata Prof. Selo, “saya merasa tersinggung dengan kebijakan ini”. Saya sangat heran dengan ucapan Prof. Selo, karena selama kami menjadi mahasiswa kami tak pernah merasa beliau dekat dan mempunyai perhatian terhadap Islam.
Prof. Slamet Imam Santoso juga begitu jengkel dengan kebijakan anti Islam Menteri Pendidikan Daoed Joesoef. Beliau bersama-sama Prof. Rasjidi dan Prof. Osman Raliby mengambil inistaif menatar dosen-dosen Agama Islam di UI agar mampu mengajarkan Islam dalam bahasa yang dimengerti oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Gejala serupa nampaknya terjadi di mana-mana. Saya sendiri, yang berlatar belakang pendidikan hukum dan filsafat ikut direkrut untuk mengajarkan Agama Islam dengan pendekatan yang lebih intelektual. Prof. Slamet bersedia memberikan ceramah Agama Islam menjelang solat tarawih di Mesjid Arief Rachman Hakiem UI, walau beliau sendiri tidak ikut tarawih. Sambil bercanda Prof Slamet mengatakan kepada saya “Jelek-jelek Slamet ini dulunya pendukung Masyumi”. Beliau bercerita, suatu ketika diajak oleh Dr. Sudarsono – ayah Juwono Sudarsono – untuk mendukung PSI dengan alasan partai itu didukung kaum intelektual. Pak Slamet bilang, saya menolak, saya lebih senang mendukung Masyumi. Masyumi juga intelektual, tapi merakyat.
Puncak dari sikap anti Islam ideologis dan poltis dari Orde Baru adalah tatkala terjadinya Peristiwa Tanjung Priok yang menyebabkan sejumlah aktivis Islam dibawah pimpinan Amir Biki dibunuh tentara. Pasca peristiwa itu, sejumlah aktivis Islam termasuk AM Fatwa dan Abdul Kadir Jaelani ditangkapi. Abdullah Hehamahuwa dan saya sempat dikejar-kejar tanpa kami tahu apa sebabnya. Sebelum itu berbagai operasi intelejens dibawah komando Benny Moerdani telah merekayasa berbagai gerakan ekstrim seperti Komando Jihad dan pembajakan pesawat terbang Woyla. Suasana sangat mencekam. Saya sendiri ketika itu bekerja di lembaga riset LIPPM yang dipimpin Anwar Harjono. Mohammad Nastsir setiap hari datang berkantor ke lembaga ini. Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem dan Boerhanoeddin Harahap juga sering datang. Pergaulan saya dengan mereka sangat dekat, sehingga sayapun sering dituduh sebagai ekstrim kanan. Setelah mereka ikut menandatangani Petisi 50, banyak pula tokoh-tokoh lain seperti Ali Sadikin dan Hoegeng sering datang. Sejak tahun 1978, kami tegas menentang asas tunggal Pancasila dan P4. Mohammad Natsir memerintahkan saya menyusun argumentasi menolak asas tunggal dan P4. Tulisan saya itu dijadikan bahan berbagai organiasi Islam, termasuk Kongres HMI di Medan yang akhirnya menolak asas tunggal. Sampai P4 dihentikan di masa Presiden Habibie, saya tak pernah mau ikut penataran P4. Ini sama sekali tidak berarti kami menolak Pancasila sebagai falsafah negara. Kami menolak tafsiran sepihak Orde Baru terhadap Pancasila.
Tak ada yang menyangsikan bahwa sikap anti Islam ideologis dan politis di bawah Orde Baru ini tanpa arahan, atau paling tidak di bawah pengetahuan Presiden Soeharto. Soeharto sendiri berasal dari kalangan Jawa Abangan, walau di masa kecil pernah belajar di sekolah Muhammadiyah dan aktif belajar mengaji serta tidur di mesjid di kampungnya. Namun pemahaman Soeharto terhadap agama tergolong minim, begitu juga ketaatannya dalam menjalankan ibadah agama. Sampai akhir dekade tahun 1980-an, rakyat tak pernah tahu apakah beliau mengerjakan solat Jum’at apa tidak. Tak pernah beliau nampak pergi menunaian solat Jum’at di Masjid Baiturrahim di Istana Negara atau mesjid lainnya. Walau begitu, Soeharto selalu mengucapkan salam baik di awal maupun di akhir pidatonya, meskipun di dalam teks pidatonya, ucapan salam itu tidak ada. Soeharto dan Ibu Tien hanya nampak menghadiri acara Nuzul Qur’an di Istana negara, dan peringatan Isra Mi’raj dan Nuzul Qur’an di Mesjid Istiqlal. Dalam ucapan lisannya sehari-hari Soeharto lebih banyak mengutip mutiara-mutiara falsafah Jawa – terutama Ronggowarsito – daripada merujuk kepada khazanah ajaran Islam.
Kesadaran Soeharto terhadap Islam mulai tumbuh ketika usianya kian senja. Dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1985, tanpa diduga Soeharto mengatakan bahwa dia bersyukur pernah mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Padahal kata-kata itu tidak ada dalam teks pidato resminya yang disiapkan Mensesneg Moerdiono. Warga Muhammadiyah seolah mendapat angin segar. Saya mendengar sejak itu ada pengajian agama Islam yang dilakukan diam-diam di rumah Soeharto. Pelan-pelan Soeharto mulai menampakkan sosok keislamannya. Dia mendukung upaya Munawir Sadjzali untuk menciptakan UU Peradilan Agama pada tahun 1989, dan kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam. Dua hal semacam ini hampir mustahil terjadi di awal maupun di pertengahan usia Orde Baru. Di masa itu, setiap pembicaraan mengenai hukum Islam dan lembaga-lembaganya, dengan mudah akan dituduh untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Dalam usia yang menjelang tua, Soeharto mulai menyadari bahwa Islam di Indonesia adalah kekuatan yang tak mungkin diabaikan, apalagi harus ditekan dan dipinggirkan. Orang Jawa, betapun abangan, adalah Muslim. Secara gradual, orang Abangan akan berangsur-angsur menjadi “santri” dengan kesadarannya sendiri. Hasil pembangunan sosial, pendidikan dan ekonomi telah menyebabkan mobilitas vertikal anak-anak Islam dalam jumlah yang besar. Masyumi boleh dihadang, namun anak-anak keluarga Masyumi – seperti telah saya katakan –muncul di kampus-kampus sebagai akademisi yang handal dan berpengaruh. Di kalangan militer, anak-anak orang Masyumi telah menjadi perwira tinggi, demikian pula di jajaran birokrasi. Generasi tua Masyumi memang mulai surut ke belakang, namun anak-anak mereka, termasuk anak-anak ideologisnya mulai muncul ke permukaan. Mereka membawa kesadaran baru tentang Islam. Tidak selalu berwajah politik, kadangkala lebih bersifat kultural dan intelektual. Namun dampak dari semua ini ke dalam politik akan terasa juga.
Menghadapi fenomena baru yang terjadi di akhir dekade 80-an dan awal 90, Soeharto mulai mendekat dan mengakomodasi Islam, walau tetap hati-hati pada kemunculan kekuatan ideologis dan politisnya. Dia merestui kelahiran ICMI dan memberi kesempatan kepada BJ Habibie untuk memimpin organisasi itu. Dia pergi haji, suatu hal yang tak terbayangkan akan dilakukannya. Soeharto juga mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila untuk mendukung pembangunan masjid di seluruh pelosok tanah air. Dia juga mendukung berdirinya Bank Muamalat, sebagai simbol bahwa Islam mulai merambah ke bidang ekonomi. Perubahan arah politik Orde Baru di saat menjelang akhir keruntuhannya, tentu menimbulkan ketidaksenangan kelompok-kelompok sekular-pragmatis dan kelompok-kelompok non Muslim, yang selama ini telah memanfaatkan Orde Baru untuk keuntungan mereka sendiri. Keadaan ini, sebenarnya adalah suatu evolusi sosial yang tak terhindari. Semakin tua, Soeharto semakin menyadari kenyataan bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Soeharto mulai sembahyang Jum’at di Mesjid Baiturrahim, suatu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Di luar dirinya, dia menyaksikan tumbuhnya kekuatan baru Islam yang lebih segar, tidak berwajah terlalu politis seperti yang dikhawatirkannya, namun potensinya untuk memberikan warna keislaman pada wajah keindonesiaan cukup besar dan potensial.
Saya sendiri hampir tidak percaya ketika di akhir tahun 1994, saya direkrut oleh Sekretariat Negara, lembaga yang di masa itu terasa menakutkan, dan terkesan sangat jauh dari Islam. Sebagai anak Masyumi yang selalu dicurigai sebagai ekstrim kanan yang kritis terhadap Orde Baru dan mantan aktivis mahasiswa yang diskors oleh Menteri Daoed Joesof, tentu merasa heran dengan tawaran ini. Saya merasa perlu berkonsultasi dengan Anwar Harjono sebelum menerima tawaran itu, dan beliau mengatakan terima saja dengan mengucapkan Bismillah. Moerdiono, Mensesneg ketika itu mengatakan kepada saya bahwa Presiden Soeharto suatu ketika mengatakan kepadanya bahwa“Yusril itu, orangnya Natsir”. Moerdiono mengiyakan, tetapi dia juga mengatakan kepada Presiden Soeharto bahwa saya masih muda danbekerja secara profesional. Saya menyaksikan perubahan kebijakan Orde Baru terhadap Islam. Pada dasarnya saya tak memusuhi seseorang dan kelompok, tetapi bisa saja menentang kebijakannya yang tidak saya setujui. Karena itu jika kebijakan berubah dan prilaku juga berubah, saya merasa tak cukup alasan lagi untuk terus menentang.
Sedikit banyak, saya ikut memberikan warna Islam pada ucapan dan kebijakan yang dijalankan Pemerintah saat itu. Pancasila yang semula ditafsirkan sangat dekat dengan Kebatinan Jawa, secara perlahan mulai bergeser ke arah penafsiran yang sejalan dengan asas-asas Islam. Bersamaan dengan itu, proses demokratisasi juga harus didorong. Walau saya menyadari bahwa jika demokratisasi berjalan, maka sendi-sendi Orde Baru yang justru dibangun dan ditopang dengan pemerintahan semi-otoriter, pelan-pelan akan menjadi kekuatan yang akan meruntuhkan dirinya dari dalam. Hal ini lumrah jika terjadi, karena kekuatan yang didukung dengan cara-cara tidak demokratis, mustahil akan bertahan jika cara-cara yang demokratis mulai dilaksanakan.
Namun perubahan kebijakan Orde Baru terhadap Islam terjadi pada saat-saat akhir menjelang keruntuhannya. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997, meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian nasional. Keruntuhan ekonomi, dengan sendirinya akan berimbas pada keruntuhan kekuatan politik yang memerintah. Dalam situasi itu, menjelang Pemilu 1997, Presiden Soeharto telah menyinggung kemungkinan dirinya “lengser keprabon, madeg pandito”, yakni mengundurkan diri dan hidup menjadi orang bijak. Namun para pendukung setianya tetap menginginkan dia bertahan. Presiden Soeharto yang sudah terlalu lama berkuasa, mulai meragukan kemampuan pemimpin penerus, apakah mampu melanjutkan segala kebijakan yang telah dilakukannya. Sementara para pendukung setia, juga menggantungkan nasib dan posisinya pada kepemimpinannya. Ketika dipilih kembali tahun 1997, Soeharto mulai salah melangkah. Dia mengangkat Siti Hardiyanti Indra Rukmana putrinya sendiri dan Bob Hasan sebagai menteri. Langkah ini menuai kritik dan menunjukkan tindakan yang mulai kurang bijaksana. Dari seorang jendral yang cerdas dan ahli strategi, di masa tua Soeharto mulai kurang hati-hati. Bagaimanapun juga, usia akan menggerogoti manusia.
Dalam suasana krisis ekonomi dan politik yang mulai mengancam stabilitas pemerintahannya, para aktivis Reformasi mulai mengecam segala kesalahan kebijakannya, terutama terkait dengan maraknya KKN di masa pemerintahannya. Dalam situasi krisis yang makin dalam, kerusuhan terjadi di berbagai tempat, satu demi satu Presiden Soeharto mulai ditinggalkan para pendukungnya yang setia. Akhirnya dia seperti sendirian, ketika Saadillah Mursyid dan saya menemuinya padamalam tanggal 20 Mei 1998, dan Presiden Soeharto mengatakan akan berhenti keesokan harinya, setelah berbagai upaya untuk membentuk pemerintahan transisi – termasuk pembentukan Komite Reformasi dan mempercepat Pemilu – gagal mendapat sambutan. Sejumlah menteri menyatakan mundur dan tidak bersedia duduk dalam kabinet baru.Posisi Soeharto terdesak. Inilah titik akhir perjalanan Orde Baru dan titik akhir karier Soeharto. Namun bukan titik akhir perjalanan Islam sebagai kekuatan sosial dan politik di tanah air. Islam telah, sedang dan tetap akan memainkan peranannya dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara kita, kini dan mendatang, baik dalam bentuk formal ideologis dan politis maupun dalam bentuknya yang lain.
Wallahu’alam bissawwab.
Prof. Yusril Ihza Mahendra
Catatan:
Tulisan ini dibuat atas permintaan Harian Republika dan telah dimuat oleh koran itu. Saya merevisi beberapa bagian, sebelum diposting di blog ini.
Sumber:
Sumber:
No comments:
Post a Comment