Salah satu hukum alam yang merupakan anugerah dari Allah SWT adalah paparan energi yang kita terima dari sebuah sumber energi akan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak terhadap sumber tersebut. Dalam Ilmu Fisika dikenal dengan Inverse Square Law atau Hukum Kuadrat Terbalik.
Sebagai misal paparan bunyi yang kita terima dari sebuah sumber bunyi akan semakin mengecil ketika kita menjauh dari sumber bunyi tersebut. Sebaliknya, ketika kita mendekat pada sumber bunyi maka paparan yang kita terima pun semakin besar pula.
Begitu pula suhu, radiasi nuklir, cahaya, elektrostatik, dan semua besaran atau fenomena alam yang memiliki energi akan memenuhi hukum tersebut. Semakin jauh sebuah posisi dari sumbernya, maka akan semakin rendah paparannya.
Jika ditulis dalam formulasi Fisika, maka: I (r) ~ 1/r^2 . I (0) dimana I (r) adalah intensitas atau paparan yang diterima pada jarak r, dan I (0) adalah besar intensitas atau paparan sumber.
Pernahkah kita membayangkan jika hukum alam itu dibalik oleh Tuhan menjadi paparan yang diterima akan berbanding lurus dengan kuadrat jarak. Tentu akan terasa 'aneh' karena semua manusia akan mendekat kepada sumber energi. Musik akan terdengar semakin kencang jika kita menjauh.
Dalam kehidupan sosial, fenomena fisika ini bisa diterjemahkan dalam sebuah kasus terjadinya pergesekan antar manusia, yakni hubungan antara respon emosi dan jarak. Semakin kita jauh dengan seseorang, maka respon emosi kita semakin kecil. Beda halnya ketika kita masih dekat dengan orang tersebut, maka respon emosi kita akan semakin besar pula.
Maka sesungguhnya, ketika kita bermasalah dengan siapapun, secara alami masalah itu akan selesai dengan sendirinya jika kita menata jarak dengan orang yang bermasalah. Tinggalkan orang bermasalah itu dengan tidak bertemu atau menjauhkan jarak (bukan untuk membenci), maka otomatis kita akan berangsur memaafkan atau mengabaikan masalah tersebut demi perbaikan ke depan.
Atau dalam kasus masa 'iddah misalnya, seorang istri yang ditinggal meninggal oleh suaminya 'hanya' diberikan kesempatan 4 bulan 10 hari untuk berkabung. Setelahnya silakan mencari lagi pendamping yang baru.
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS Al-Baqarah [2] : 234)
Ketika kita mendapati kejadian menyedihkan, maka tidak ada alasan buat kita untuk larut dalam kesedihan yang mendalam, larut dalam penyesalan yang tak berujung, dan larut dalam kekecewaan yang tak menyelesaikan.
Jika seorang istri yang ditinggal meninggal suaminya saja 'cukup' diberikan waktu 4 bulan 10 hari untuk berkabung, maka apatah lagi para remaja yang ditinggal kekasih sesaatnya (pacar). Mungkin cukup 4 hari 10 jam saja bersedihnya. Buatlah jarak sesegara mungkin, hilangkan perlahan pikiran tentang 'dia' yang tidak konstruktif, dan mulailah membangun kurva kehidupan yang baru.
Hidup sudah memberikan cara tersendiri secara alami untuk membaikan umat manusia dan seluruh makhluk menuju recovery ketika menerima paparan negatif dengan cara membuat jarak dengan sumber paparan negatif tersebut, maka janganlah mencoba-coba membuat entropi (ketidakteraturan) hidup dengan tetap bernostalgia dengan sumber masalah yang justru akan mengganggu keteraturan hukum alam yang sudah dianugerahkan oleh Yang Maha Memiliki Hukum, Allah SWT.
Buat para pecinta dan yang dicintai, mungkin salah satu makna bersyukur dalam hidup adalah menerapkan prinsip:
"Jika tidak mendapatkan apa yang dicintai, maka cintailah apa yang sudah didapatkan."
wallahu a'lam
Sebagai misal paparan bunyi yang kita terima dari sebuah sumber bunyi akan semakin mengecil ketika kita menjauh dari sumber bunyi tersebut. Sebaliknya, ketika kita mendekat pada sumber bunyi maka paparan yang kita terima pun semakin besar pula.
Begitu pula suhu, radiasi nuklir, cahaya, elektrostatik, dan semua besaran atau fenomena alam yang memiliki energi akan memenuhi hukum tersebut. Semakin jauh sebuah posisi dari sumbernya, maka akan semakin rendah paparannya.
Jika ditulis dalam formulasi Fisika, maka: I (r) ~ 1/r^2 . I (0) dimana I (r) adalah intensitas atau paparan yang diterima pada jarak r, dan I (0) adalah besar intensitas atau paparan sumber.
Pernahkah kita membayangkan jika hukum alam itu dibalik oleh Tuhan menjadi paparan yang diterima akan berbanding lurus dengan kuadrat jarak. Tentu akan terasa 'aneh' karena semua manusia akan mendekat kepada sumber energi. Musik akan terdengar semakin kencang jika kita menjauh.
Dalam kehidupan sosial, fenomena fisika ini bisa diterjemahkan dalam sebuah kasus terjadinya pergesekan antar manusia, yakni hubungan antara respon emosi dan jarak. Semakin kita jauh dengan seseorang, maka respon emosi kita semakin kecil. Beda halnya ketika kita masih dekat dengan orang tersebut, maka respon emosi kita akan semakin besar pula.
Maka sesungguhnya, ketika kita bermasalah dengan siapapun, secara alami masalah itu akan selesai dengan sendirinya jika kita menata jarak dengan orang yang bermasalah. Tinggalkan orang bermasalah itu dengan tidak bertemu atau menjauhkan jarak (bukan untuk membenci), maka otomatis kita akan berangsur memaafkan atau mengabaikan masalah tersebut demi perbaikan ke depan.
Atau dalam kasus masa 'iddah misalnya, seorang istri yang ditinggal meninggal oleh suaminya 'hanya' diberikan kesempatan 4 bulan 10 hari untuk berkabung. Setelahnya silakan mencari lagi pendamping yang baru.
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS Al-Baqarah [2] : 234)
Ketika kita mendapati kejadian menyedihkan, maka tidak ada alasan buat kita untuk larut dalam kesedihan yang mendalam, larut dalam penyesalan yang tak berujung, dan larut dalam kekecewaan yang tak menyelesaikan.
Jika seorang istri yang ditinggal meninggal suaminya saja 'cukup' diberikan waktu 4 bulan 10 hari untuk berkabung, maka apatah lagi para remaja yang ditinggal kekasih sesaatnya (pacar). Mungkin cukup 4 hari 10 jam saja bersedihnya. Buatlah jarak sesegara mungkin, hilangkan perlahan pikiran tentang 'dia' yang tidak konstruktif, dan mulailah membangun kurva kehidupan yang baru.
Hidup sudah memberikan cara tersendiri secara alami untuk membaikan umat manusia dan seluruh makhluk menuju recovery ketika menerima paparan negatif dengan cara membuat jarak dengan sumber paparan negatif tersebut, maka janganlah mencoba-coba membuat entropi (ketidakteraturan) hidup dengan tetap bernostalgia dengan sumber masalah yang justru akan mengganggu keteraturan hukum alam yang sudah dianugerahkan oleh Yang Maha Memiliki Hukum, Allah SWT.
Buat para pecinta dan yang dicintai, mungkin salah satu makna bersyukur dalam hidup adalah menerapkan prinsip:
"Jika tidak mendapatkan apa yang dicintai, maka cintailah apa yang sudah didapatkan."
wallahu a'lam
No comments:
Post a Comment