Menyimak berita rencana eksekusi 10 terpidana mati yang berlatar belakang mayoritas non muslim, jadi tergelitik lagi untuk menulis tentang kebenaran agama dan kebenaran pemeluk.
Sudah lebih dari dua dasawarsa ini, upaya penyerangan untuk melemahkan Islam sebagai agama yang mengutamakan perdamaian dilakukan secara sporadis. Semua lini kehidupan dan semua media dikerahkan untuk melemahkan Islam dan pemeluknya. Di Indonesia julukan teroris, pemeluk yang miskin, muslim yang korup, tayangan media yang melemahkan akidah, dan yang paling sporadis selama piplres 2014 adalah serangan kepada partai berbasis Islam dan elite-elite partai yang notabene muslim. PKS adalah partai yang paling sporadis dihantam segala penjuru.
Mereka yang membenci Islam dengan sangat sengaja tidak menggunakan data dan statistik dalam melakukan penyerangan. Mengangkat kasus per kasus yang tidak mempresentasikan populasi muslim. Ujung-ujungnya menggiring opini publik bahwa Islam adalah agama yang salah karena tidak mampu membawa pemeluknya pada kepada kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan. Padahal kebenaran sebuah agama tidak bisa diukur dari kondisi pemeluknya.
Saya sering mengilustrasikan, jika ada seorang dosen mengajarkan matematika dan mereferensikan buku matematika yang sama kepada mahasiswa serta mengajarkannya dengan metode yang sama pada 100 mahasiswa yang diampunya, maka ketika hasil ujian memberikan kenyataan ada 10 mahasiswa mendapatkan nilai A, 10 mahasiswa mendapatkan nilai B, 50 mahasiswa mendapatkan nilai C, dan sisanya 30 mahasiswa mendapatkan nilai E, apakah hanya dengan mengambil data 30 mahasiswa yang mendapat nilai E kemudian kita simpulkan bahwa Buku Matematika nya yang salah?
Buku Matematika nya tentu saja tidak salah. Cara mengajar dosennya mungkin saja bisa tepat atau tidak tepat. Bagi mahasiswa yang mendapat nilai baik bisa jadi menganggapnya tepat. Bagi yang mendapat nilai rendah bisa jadi dipandang tidak tepat cara mengajarnya. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa upaya belajar mahasiswa yang mendapat nilai baik akan berbeda dengan mahasiswa yang mendapatkan nilai jelek.
Maka jika ingin mengetahui agama mana yang benar, pelajarilah kitab sucinya. Carilah kitab suci yang tidak ada keraguan di dalamya. Dan carilah guru yang bagus untuk mengajarkan kitab suci tersebut.
Jikalau pemeluk dijadikan sebagai parameter dalam mengambil kesimpulan tentang keberhasilan sebuah agama, gunakanlah statistik. Bukan sekedar kasus per kasus. Sepanjang sejarah peradaban manusia, ketika kapan dan ada di mana terbentuk sebuah masyarakat yang damai, adil, sejahtera dan mampu menjalankan ibadah walau berbeda agama?
Sekarang marilah kita tengok beberapa statistik yang bisa menjadi parameter ukur keberhasilan sekelompok masyarakat atau negara.
10 Negara dengan Tingkat Kejahatan Tertinggi
01. United States of America: 12,408,899
02. Germany: 2,112,843
03. France: 1,172,547
04. Russian Federation: 1,041,340
05. Italy 900,870
06. Canada 628,920
07. Chile 611,322
08. Poland 521,942
09. Spain 377,965
10. Netherlands 372,305
United Nations Office on Drugs & Crime - http://www.mapsofworld.com/world-top-ten/countries-with-highest-reported-crime-rates.html
10 Negara dengan Tingkat Kekayaan Tertinggi
01. Qatar 1,45,894.18
02. Luxembourg 90,332.89
03. Singapore 78,761.92
04. Brunei Darussalam 73,823.13
05. Kuwait 70,785.46
06. Norway 64,363.14
07. United Arab Emirates 63,180.83
08. Switzerland 53,976.60
09. United States 53,000.97
10. Hong Kong SAR 52,984.06
World Economic Outlook Database, October 2014 - http://www.mapsofworld.com/world-top-ten/world-top-ten-richest-countries-map.html
10 Negara dengan Kepemilikan Senjata Nuklir Tertinggi
01. Russia 8000
02. United States 7300
03. France 300
04. China 250
05. United Kingdom 225
06. Pakistan 100-120
07. India 90-110
08. Israel 80
09. North Korea 6-8.
10. Total 16,350
World nuclear forces, January 2014 - http://www.mapsofworld.com/world-top-ten/world-top-ten-countries-by-nuclear-warheads-map.html
Jika kita amati, ternyata negara-negara sekulerlah yang memiliki tingkat kejahatan papan atas dan kepemilikan senajata nuklir yang berpotensi merusak dan menghancurkan peradaban masyarakat dunia. Bukan negara dengan penduduk mayoritas muslim. Sebaliknya kalau kekayaan dipandang sebagai kehebatan sebuah negara, ternyata negara yang mayoritas muslim yang paling kaya sedunia.
Tentu saja masih banyak parameter lain yang menjadi alat ukur keberhasilan sebuah negara. Silakan diobservasi sendiri. Namun saran saya, belajarlah dari keberhasilan seorang Rasulullah ketika membangun masyarakat dunia dan keberhasilan para khalifah ketika membangun masyarakat di berbagai belahan dunia seperti Irak, Turki, dan Spanyol.
Semoga kita semua lebih berhati-hati dalam menyimpulkan sesuatu, apalagi berkaitan dengan kebenaran sebuah agama. Terlebih umat Islam yang meyakini sejak Adam diciptakan hingga sekarang, hanya Islam satu-satunya agama di dunia dan hanya Islam yang benar.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS Al-Maaidah: 3)
wallahu a'lam
Dalam fisika nuklir, dikenal dua jenis reaksi nuklir, yaitu reaksi fusi nuklir dan reaksi fisi nuklir.
Reaksi fusi nuklir adalah reaksi peleburan dua atau lebih inti atom menjadi atom baru dan menghasilkan energi, juga dikenal sebagai reaksi yang bersih. Contoh partikel yang dileburkan adalah Deuterium yang merupakan isotop dari unsur Hidrogen. Reaksi ini terjadi pada matahari atau bintang-bintang.
Reaksi fisi nuklir adalah reaksi pembelahan inti atom akibat tubrukan dengan neutron, dan menghasilkan energi dan atom baru yang bermassa lebih kecil, serta radiasi elektromagnetik. Contoh partikel yang dibelah adalah Uranium atau Plutonium. Reaksi ini terjadi pada reaktor nuklir dan bom nuklir.
Persamaan dari kedua jenis reaksi nuklir tersebut adalah bahwa keduanya mampu menghasilkan energi yang sangat besar.
Jika ditarik dalam terminologi sosiologi, fenomena fusi dan fisi nuklir memberikan pelajaran tentang bagaimana sebaiknya membangun sebuah team workdalam beraktivitas. Bersatu atau terbelahnya antar personal dalam tim seharusnya mampu menghasilkan energi yang besar, bukan malah mengurangi energi dan produktivitas tim.
Sebab, kata kunci dari pembentukan team work adalah sebuah upaya konvergensi untuk mampu menghasilkan kekuatan dan manfaat yang lebih besar buat sebanyak mungkin sesama.
Ketika dua, tiga, empat atau sekumpulan orang berkumpul dan menyatu dalam sebuah team workmaka ibarat reaksi fusi, mereka seharusnya menghasilkan energi yang dahsyat seperti halnya energi matahari. Kemampuan masing-masing saling berkolaborasi membentuk formasi yang indah.
Di sisi lain, ketika dua, tiga, empat atau sekumpulan orang harus terpisah dari sebuah team work, maka barat reaksi fisi, perpisahan merekapun seharusnya menghasilkan energi yang dahsyat pula seperti halnya energi yang dihasilkan dari reaksi fisi. Bisa jadi bentuk energi itu adalah kesadaran yang tinggi dari masing-masing person yang terpisah untuk kemudian berupaya menjadi lebih baik secara mandiri.
Maka, tergabung atau terpisahnya antar personil dalam sebuah team work itu bukanlah sisi yang lebih penting untuk kita cermati dibandingkan akibat yang dihasilkan dari kondisi keduanya. Team work adalah "sebuah team yang benar-benar work", bukan menjadi "mana yang team, mana yang work".
Jika tergabungnya antar personal mampu berfungsi sebagai reaksi fusi atau terpisahnya antar personal mampu berfungsi sebagai reaksi fisi, maka kondisi ini akan lebih baik dilakukan karena akan menghasilkan energi dan kemanfaatan yang lebih besar. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka keduanya merupakan potensi bencana. Kegagalan bergabungnya antar person ibarat kegagalan pembentukkan bintang baru yang tak punya energi dan terpisahnya antar personil hanya menghasilkan unsur baru sebagai limbah nuklir yang berpotensi negatif.
Maka pepatah yang mengatakan "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh" harus memenuhi syarat reaksi fusi, yakni menghasilkan energi positif. JIka ternyata bersatunya antar komponen tak mampu menghasilkan energi, peribahasa itu bisa diganti dengan "Bersatu tak mesti teguh, bercerai tak mesti runtuh".
Reaksi fusi nuklir adalah reaksi peleburan dua atau lebih inti atom menjadi atom baru dan menghasilkan energi, juga dikenal sebagai reaksi yang bersih. Contoh partikel yang dileburkan adalah Deuterium yang merupakan isotop dari unsur Hidrogen. Reaksi ini terjadi pada matahari atau bintang-bintang.
Reaksi fisi nuklir adalah reaksi pembelahan inti atom akibat tubrukan dengan neutron, dan menghasilkan energi dan atom baru yang bermassa lebih kecil, serta radiasi elektromagnetik. Contoh partikel yang dibelah adalah Uranium atau Plutonium. Reaksi ini terjadi pada reaktor nuklir dan bom nuklir.
Persamaan dari kedua jenis reaksi nuklir tersebut adalah bahwa keduanya mampu menghasilkan energi yang sangat besar.
Reaksi Fisi-Fusi Nuklir & Penggunaannya |
Jika ditarik dalam terminologi sosiologi, fenomena fusi dan fisi nuklir memberikan pelajaran tentang bagaimana sebaiknya membangun sebuah team workdalam beraktivitas. Bersatu atau terbelahnya antar personal dalam tim seharusnya mampu menghasilkan energi yang besar, bukan malah mengurangi energi dan produktivitas tim.
Sebab, kata kunci dari pembentukan team work adalah sebuah upaya konvergensi untuk mampu menghasilkan kekuatan dan manfaat yang lebih besar buat sebanyak mungkin sesama.
Ketika dua, tiga, empat atau sekumpulan orang berkumpul dan menyatu dalam sebuah team workmaka ibarat reaksi fusi, mereka seharusnya menghasilkan energi yang dahsyat seperti halnya energi matahari. Kemampuan masing-masing saling berkolaborasi membentuk formasi yang indah.
Di sisi lain, ketika dua, tiga, empat atau sekumpulan orang harus terpisah dari sebuah team work, maka barat reaksi fisi, perpisahan merekapun seharusnya menghasilkan energi yang dahsyat pula seperti halnya energi yang dihasilkan dari reaksi fisi. Bisa jadi bentuk energi itu adalah kesadaran yang tinggi dari masing-masing person yang terpisah untuk kemudian berupaya menjadi lebih baik secara mandiri.
Maka, tergabung atau terpisahnya antar personil dalam sebuah team work itu bukanlah sisi yang lebih penting untuk kita cermati dibandingkan akibat yang dihasilkan dari kondisi keduanya. Team work adalah "sebuah team yang benar-benar work", bukan menjadi "mana yang team, mana yang work".
Jika tergabungnya antar personal mampu berfungsi sebagai reaksi fusi atau terpisahnya antar personal mampu berfungsi sebagai reaksi fisi, maka kondisi ini akan lebih baik dilakukan karena akan menghasilkan energi dan kemanfaatan yang lebih besar. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka keduanya merupakan potensi bencana. Kegagalan bergabungnya antar person ibarat kegagalan pembentukkan bintang baru yang tak punya energi dan terpisahnya antar personil hanya menghasilkan unsur baru sebagai limbah nuklir yang berpotensi negatif.
Maka pepatah yang mengatakan "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh" harus memenuhi syarat reaksi fusi, yakni menghasilkan energi positif. JIka ternyata bersatunya antar komponen tak mampu menghasilkan energi, peribahasa itu bisa diganti dengan "Bersatu tak mesti teguh, bercerai tak mesti runtuh".
Filosofi fusi dan fisi nuklir ini bisa membawa kita pada pemahaman mengapa Tuhan membolehkan perceraian meski sangat dibenci. Bertemu dan berpisah adalah sebuah keniscayaan dalam hidup.
”Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi (kelak di hari kiamat) dalam naunganNYA yang saat itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah, (1) imam yang adil, (2) dan remaja yang tumbuh sejak kecil terus beribadah kepada Allah, (3) dan laki-laki yang hatinya digantungkan pada masjid, (4) dan dua orang laki laki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul karna Allah dan berpisah juga karna Allah,(5) dan laki-laki yang didatangi perempuan terhormat yang cantik (mengajak berzina) namun ia menolak dan mengatakan aku takut kepada Allah, (6) dan laki-laki yang bersedekah sesuatu, memberikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa-apa yang diinfakkan oleh tangan kanannnya, (7) dan laki-laki yang berzikir saat sepi dan meneteskan air mata (karena takut kepada Allah)
(HR Muslim)
Selamat pagi, selamat memulai weekdays yang indah. Semoga aktivitas kita kali ini mampu membuat kekuatan kita menjadi lebih besar dalam kebersamaan yang indah, seperti energi yang dihasilkan dari reaksi fusi atau fisi nuklir. Aamiin ...
”Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi (kelak di hari kiamat) dalam naunganNYA yang saat itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah, (1) imam yang adil, (2) dan remaja yang tumbuh sejak kecil terus beribadah kepada Allah, (3) dan laki-laki yang hatinya digantungkan pada masjid, (4) dan dua orang laki laki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul karna Allah dan berpisah juga karna Allah,(5) dan laki-laki yang didatangi perempuan terhormat yang cantik (mengajak berzina) namun ia menolak dan mengatakan aku takut kepada Allah, (6) dan laki-laki yang bersedekah sesuatu, memberikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa-apa yang diinfakkan oleh tangan kanannnya, (7) dan laki-laki yang berzikir saat sepi dan meneteskan air mata (karena takut kepada Allah)
(HR Muslim)
Selamat pagi, selamat memulai weekdays yang indah. Semoga aktivitas kita kali ini mampu membuat kekuatan kita menjadi lebih besar dalam kebersamaan yang indah, seperti energi yang dihasilkan dari reaksi fusi atau fisi nuklir. Aamiin ...
Mari kita perhatikan ilustrasi gambar berikut. Jawaban dari penyelesaian soal pembagian bilangan pecahan tersebut adalah benar. Namun apakah metode yang dilakukan juga benar? Tentu kita semua sepakat bahwa metode yang dikerjakan adalah tidak benar. Seorang murid yang enggan belajar, dan tiba-tiba bisa menjawab dengan cara seperti itu bisa jadi ia akan 'selamat' untuk sementara mendapatkan nilai benar untuk soal tersebut. Namun apakah ia akan bisa menjawab pula untuk soal pecahan yang lain? Tentu saja tidak. Jika murid tersebut ingin mendapatkan hasil yang selalu benar, maka ia harus mempelajari metode yang benar. Jika ia ingin memahami metode yang benar, maka ia harus meniatkan diri untuk belajar dengan sungguh-sungguh.
Segala sesuatu yang diniati buruk akan menghasilkan metode yang buruk pula. Dan sesuatu yang dilakukan dengan metode buruk hanya akan menghasilkan sesuatu yang buruk pula. Sebaliknya segala sesuatu yang diniatkan baik, maka punya kecenderungan untuk menghasilkan metode dan hasil yang baik pula.
Ilustrasi matematika tersebut memberikan gambaran bahwa sesungguhnya segala amal tergantung pada niat. Berhati-hatilah dalam setiap niat yang kita munculkan dalam hati. Dan berhati-hati pula lah dalam mendefinisikan niat seseorang, apakah buruk atau baik. Niat yang buruk ditampilkan baik adalah kedustaan. Niat yang baik diopinikan buruk adalah fitnah.
Yakin saja bahwa Tuhan punya cara tersendiri yang tak terduga oleh manusia untuk menunjukkan niat seseorang itu baik atau buruk. Namun ada satu metode yang mudah kita cerna untuk mendefinisikan niat seseorang apakah berniat baik atau buruk, yakni kejujuran dan konsistensi. Orang yang berniat baik akan selalu mengutamakan kejujuran dan bersikap konsisten. Tidak ada satu pun seorang nabi yang tidak mengajarkan kejujuran dalam menyampaikan penyampaian risalahnya. Jika benar dikatakan benar, dan jika salah maka akan dikatakan salah pula. Sebab benar atau salah itu sesungguhnya ada dalam hati nurani dan diwahyukan oleh Tuhan melalui keterangan kitab suci.
Hati adalah sesuatu yang tersembunyi namun bisa dibaca. Persis seperti kita bisa membaca kekeliruan cara menghitung soal matematika pecahan tadi walau jawabannya 'dianggap' benar.
Mari kita terbiasa meluruskan niat kita agar selalu baik. Semoga kita didekatkan kepada orang-orang dan para pemimpin berniat baik yang mereka dekat dengan sifat jujur dan sikap konsisten. Aamiin ...
wallahu a'lam
Segala sesuatu yang diniati buruk akan menghasilkan metode yang buruk pula. Dan sesuatu yang dilakukan dengan metode buruk hanya akan menghasilkan sesuatu yang buruk pula. Sebaliknya segala sesuatu yang diniatkan baik, maka punya kecenderungan untuk menghasilkan metode dan hasil yang baik pula.
Ilustrasi matematika tersebut memberikan gambaran bahwa sesungguhnya segala amal tergantung pada niat. Berhati-hatilah dalam setiap niat yang kita munculkan dalam hati. Dan berhati-hati pula lah dalam mendefinisikan niat seseorang, apakah buruk atau baik. Niat yang buruk ditampilkan baik adalah kedustaan. Niat yang baik diopinikan buruk adalah fitnah.
Yakin saja bahwa Tuhan punya cara tersendiri yang tak terduga oleh manusia untuk menunjukkan niat seseorang itu baik atau buruk. Namun ada satu metode yang mudah kita cerna untuk mendefinisikan niat seseorang apakah berniat baik atau buruk, yakni kejujuran dan konsistensi. Orang yang berniat baik akan selalu mengutamakan kejujuran dan bersikap konsisten. Tidak ada satu pun seorang nabi yang tidak mengajarkan kejujuran dalam menyampaikan penyampaian risalahnya. Jika benar dikatakan benar, dan jika salah maka akan dikatakan salah pula. Sebab benar atau salah itu sesungguhnya ada dalam hati nurani dan diwahyukan oleh Tuhan melalui keterangan kitab suci.
Hati adalah sesuatu yang tersembunyi namun bisa dibaca. Persis seperti kita bisa membaca kekeliruan cara menghitung soal matematika pecahan tadi walau jawabannya 'dianggap' benar.
wallahu a'lam
Jika di Jepang budaya malu ketika tidak berhasil dalam memimpin pemerintahan masih kuat maka sepertinya tidak demikian halnya di Indonesia. Di Indonesia sangat sulit sekali menemukan pemimpin yang terbiasa meminta maaf atas sebuah kekeliruan untuk kemudian mengundurkan diri jika kesalahan dalam memimpinnya itu sudah sangat besar.
Sepertinya yang dinginkan oleh para pemimpin di Indonesia adalah menjadi penguasa. Parahnya lagi mereka bersikeras ingin melanggengkan kekuasaannya. Saya pikir-pikir mereka sepertinya sangat menguasai Hukum Newton dalam imu Fisika. Mari kita perhatikan.
Hukum Newton I meyebutkan bahwa setiap benda akan memiliki kecepatan yang konstan kecuali ada gaya yang resultannya tidak nol bekerja pada benda tersebut. Berarti jika resultan gaya nol, maka pusat massa dari suatu benda tetap diam, atau bergerak dengan kecepatan konstan (tidak mengalami percepatan). Hal ini berlaku jika dilihat dari kerangka acuan inersial. Dengan bahasa sederhana setiap benda akan mempertahankan kedudukannya kecuali ada gaya lain yang memaksanya berubah dari kondisi diam atau kondisi bergerak lurus beraturan.. Sifat benda yang mempertahankan kedudukan ini dikenal dengan sifat lembam. Oleh karenanya Hukum Newton I ini dikenal pula dengan Hukum Kelembaman dan dinotasikan dengan ∑*F* = 0.
Ilustrasi sederhana dari Hukum Newton I ini adalah ketika kita berada dalam sebuah mobil yang sedang diam kemudian mobil itu tiba-tiba bergerak maka kita akan terdorong ke belakang (ingin tetap ada di posisi awal). Begitu pula ketika kita sedang melaju bersama mobil kemudian tiba-tiba mobil berhenti, maka kita akan terdorong ke depan (ingin tetap bergerak). Agar kita tidak terdorong ke belakang atau ke depan maka biasanya kita berpegangan. Nah, berpegangan itu sebenarnya adalah memberikan gaya luar pada diri kita agar kita tidak mempertahankan kedudukan semula.
"Para Penguasa Karep" bersifat pula sebagai benda yang lembam. Ingin mempertahankan kedudukannnya. Supaya mereka keluar dari kedudukannya maka menurut Hukum Newton I harus ada gaya lluar yang berlaku padanya. Maka jika rakyat yang semakin susah hidupnya tak mampu untuk membuat 'gaya luar' untuk menggoyahkan penguasa-penguasa, jangan berharap banyak mereka akan melepaskan jabatannya,termasuk Jokowi.
Padahal kekuasaan yang semakin mutlak akan cenderung melakukan tindakan korupsi yang semakin mutlak pula.
"Power tend to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely."
Hukum Newton II meyebutkan sebuah benda dengan massa M yang mengalami gaya resultan sebesar Fakan mengalami percepatan a yang arahnya sama dengan arah gaya, dan besarnya berbanding lurus terhadap F dan berbanding terbalik terhadap M. Hukum Newton ini diformulasikan dengan rumus F = M.a atau bisa pula diformulasikan dengan a = F/M artinya besarnya percepatan yang dihasilkan sangat tergantung pada besarnya gaya yang berlaku dan massa yang menjadi beban.
Jika saya perhatikan, Jokowi tidak memiliki kekuatan atau gaya (force) yang memadai dalam memimpin negara, sementara beban negara (M) begitu besarnya. Sehingga wajar saja jika percepatan pembangunan (a) yang dihasilkan jauh dari janji-janjinya. Mungkin saja gaya yang dipakai Jokowi bukan gaya dalam arti kekuatan, tapi 'banyak gaya' alias 'pencitraan'.
Hukum Newton III meyebutkan bahwa gaya aksi dan reaksi dari dua benda memiliki besar yang sama, dengan arah terbalik, dan segaris. Artinya jika ada benda A yang memberi gaya sebesar F pada benda B, maka benda B akan memberi gaya sebesar –F kepada benda A. F dan –F memiliki besar yang sama namun arahnya berbeda. Hukum ini juga terkenal sebagai hukum aksi-reaksi, dengan F disebut sebagai aksi dan –F adalah reaksinya dinotasikan dengan ∑F (aksi) = - ∑F (reaksi).
Ketika Jokowi mendapatkan perlawanan yang luar biasa dari masyarakat yang sekarang lebih obyektif menilai kemampuannya, Jokowi (dan pendukung militan) nya malah melakukan 'jurus' aksi reaksi. Memberikan reaksi negatif yang besarnya sama dengan aksi yang diberikan oleh masyarakat atau dengan kata lain Jokowi melakukan ngeyelisasi dan ngelesisasi. Tengok saja berapa banyak alasan-alasan yang sangat tidak argumentatif bahkan tidak masuk akal ketika menjelaskan tentang kebijakan kenaikan harga BBM, TDL, Bahan Pokok, atau hingga pencalonan BG sebagai Kapolri dan pemblokiran situs Islam serta kebijakan pemberian fasilitas uang muka mobil pejabat.
Maka dengan melihat kenyataan itu, kunci dan solusi dari semua carut marut rezim sekarang itu ada pada rakyat banyak dan Jokowi itu sendiri. Jika Jokowi mau belajar banyak dari negara jepang yang baru saja dikunjunginya, maka mengundurkan diri akan jauh lebih kstaria. Namun jika itu tak dilakukan, maka rakyat harus belajar dari Hukum Newton tadi agar perubahan menjadi bisa terwujud. Rakyat harus memberikan gaya untuk 'memaksa' pada penguasa yang lembam agar mau melepaskan diri dari kenikmatan semu menjadi penguasa.
Jika kita semua sayang pada Jokowi dan seluruh rakyat Indonesia mari kembalikan Jokowi pada daerah kelahirannnya. Seperti lagu yag dinyanyikan oleh Didi Kempot ini, banyak yang kangen pada Jokowi untuk melanjutkan membangun kota kelahirannya yang ditinggalkan. Tunggulah Jokowi di Stasiun Balapan Solo.
Bersyukur kepada Allah SWT, dengan adanya Pilpres 2014 ini banyak hikmah yang didapatkan, diantaranya adalah:
1. Ketegasan warna Kelompok Islam dan Kelompok Sekuler semakin kuat. Kondisi ini mengurangi dan mempersempit gerak kelompok abu-abu yang menciderai kualitas ketegasan sebuah ideologi.
2. Ketegasan warna Masyarakat Rasional dan Masyarakat Emosional semakin jelas.
3. Pembedaan antara cendekiawan-akademisi yang sesungguhnya, dengan cendekiawan-akademisi yang menjadi "pelacur budaya ilmiah" semakin dipahami oleh masyarakat rasional.
4. Polarisasi kualitas teman, rekan dan orang pada umumnya semakin menguat. Mana rekan yang rasional, mau membuka ruang dialog, berdiskusi, dan menyukai majelis ilmu, dan mana rekan yang emosional, memaksakan kehendak, suka berdebat, dan menyukai majelis gosip.
5. Masyarakat bisa lebih memahami bahwa hampir tak ada satu media pun yang tidak punya kepentingan dan menjunjung tinggi nilai-nilai obyektifitas. Bahwa kehidupan kita tidak lepas dari konspirasi informasi yang berusaha mencuci otak orang-orang awam.
6. Kita akhirnya 'dipaksakan' untuk memilih mana kelompok elite, kelompok masyarakat, dan media yang dijadikan sebagai sumber informasi dan teman sejati.
7. Masyarakat menjadi terbuka mata hatinya bahwa campur tangan asing pada bangsa ini begitu kuat adanya. Mereka melakukan konspirasi yang hanya bertujuan mengeruk keuntungan dari bangsa ini dengan cara memecah belah anak-anak bangsa, salah satunya melalui tangan-tangan para pengkhianat bangsa.
8. Masyarakat menjadi lebih paham bahwa dunia politik menjadi amat sangat penting untuk kita fikirkan karena akan sangat mempengaruhi kehidupan bangsa.
9. Masyarakat menjadi lebih memahami pentingnya persatuan dalam melawan ketidakadilan.
10. Masyarakat menjadi lebih paham bahwa tantangan yang dihadapi bangsa ini semakin berat.
dan,
11. Kita semua bisa memahami, pada setiap perjuangan dan totalitas melakukan menyerukan keyakinan kebenaran, kita masih berada pada level mana, seorang kader, anggota, simpatisan, apatis, atau malah menjadi hater.
Semoga generasi penerus bangsa ini tidak dipenuhi oleh orang-orang yang hanya berfungsi seperti buih yang mudah terombang-ambing. Namun dipenuhi oleh ombak-ombak yang mampu menghasilkan energi besar untuk memecah karang kesuraman hidup.
Pilihan kita adalah keputusan yang akan dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia, namun jua selepas nafas terputus dari raga.
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Qiyamah: 36)
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan & hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra’: 36)
1. Ketegasan warna Kelompok Islam dan Kelompok Sekuler semakin kuat. Kondisi ini mengurangi dan mempersempit gerak kelompok abu-abu yang menciderai kualitas ketegasan sebuah ideologi.
2. Ketegasan warna Masyarakat Rasional dan Masyarakat Emosional semakin jelas.
3. Pembedaan antara cendekiawan-akademisi yang sesungguhnya, dengan cendekiawan-akademisi yang menjadi "pelacur budaya ilmiah" semakin dipahami oleh masyarakat rasional.
4. Polarisasi kualitas teman, rekan dan orang pada umumnya semakin menguat. Mana rekan yang rasional, mau membuka ruang dialog, berdiskusi, dan menyukai majelis ilmu, dan mana rekan yang emosional, memaksakan kehendak, suka berdebat, dan menyukai majelis gosip.
5. Masyarakat bisa lebih memahami bahwa hampir tak ada satu media pun yang tidak punya kepentingan dan menjunjung tinggi nilai-nilai obyektifitas. Bahwa kehidupan kita tidak lepas dari konspirasi informasi yang berusaha mencuci otak orang-orang awam.
6. Kita akhirnya 'dipaksakan' untuk memilih mana kelompok elite, kelompok masyarakat, dan media yang dijadikan sebagai sumber informasi dan teman sejati.
7. Masyarakat menjadi terbuka mata hatinya bahwa campur tangan asing pada bangsa ini begitu kuat adanya. Mereka melakukan konspirasi yang hanya bertujuan mengeruk keuntungan dari bangsa ini dengan cara memecah belah anak-anak bangsa, salah satunya melalui tangan-tangan para pengkhianat bangsa.
8. Masyarakat menjadi lebih paham bahwa dunia politik menjadi amat sangat penting untuk kita fikirkan karena akan sangat mempengaruhi kehidupan bangsa.
9. Masyarakat menjadi lebih memahami pentingnya persatuan dalam melawan ketidakadilan.
10. Masyarakat menjadi lebih paham bahwa tantangan yang dihadapi bangsa ini semakin berat.
dan,
11. Kita semua bisa memahami, pada setiap perjuangan dan totalitas melakukan menyerukan keyakinan kebenaran, kita masih berada pada level mana, seorang kader, anggota, simpatisan, apatis, atau malah menjadi hater.
Semoga generasi penerus bangsa ini tidak dipenuhi oleh orang-orang yang hanya berfungsi seperti buih yang mudah terombang-ambing. Namun dipenuhi oleh ombak-ombak yang mampu menghasilkan energi besar untuk memecah karang kesuraman hidup.
Pilihan kita adalah keputusan yang akan dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia, namun jua selepas nafas terputus dari raga.
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Qiyamah: 36)
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan & hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra’: 36)
Marilah sejenak kita mempelajari perilaku aktivitas media sosial (bermedsos) kita. Cobalah kita hitung berapa banyak materi postingan dan komentar kita pada masing-masing tema yang diangkat.
Ketika materi posmen (posting dan komentar) kita serius, maka orang-orang yang datang dan menyikapi cenderung serius pula. Jika posmen kita bermuatan kebaikan dan dipandang bermanfaat buat mereka, tak jarang mereka memberikan apresiasi positif, ucapan terima kasih atau bahkan pujian kepada kita.
Mungkin hanya beberapa teman saja yang tidak menyukai materi posmen positif kita karena bisa jadi materinya dianggap 'tidak mengenakan' dirinya. Persis seperti ketika kita berbagi kebaikan atau pun mencegah keburukan pada aktivitas di darat. Akan rawan distorsi jika sudah menyangkut kritikan dan kepentingan personal yang kebetulan merasa merugikannya. Padahal posmen kita mungkin saja bersifat umum dan tujuan utamanya sebagai auto kritik diri kita sendiri, bukan ditujukan pada orang tertentu.
Sebaliknya jika posmen kita bermuatan candaan, maka yang mengerumuni adalah orang-orang yang bercanda pula. Lebih buruk lagi, posmen bermuatan sindiran, cacian, dan hinaan akan mengundang orang-orang dengan sikap seperti itu pula.
Posisi kita dalam sosial media ternyata bisa dianalogikan seperti elektroda dalam sebuah sel volta. Partikel-partikel bermuatan positif akan terpolarisasi satu sama lain, begitu pula partikel-partikel yang bermuatan negatif.
Arus listrik yang dihasilkan dari sel volta disebabkan oleh elektron yang bermuatan negatif, mengalir dari elektroda negatif menuju elektroda positif. Dan akhirnya tercipta potensial sel volta. Energi listrik yang bermanfaat untuk kehidupan, seperti misalnya pada accu (aki). Seberapa besar potensial dan energi listrik yang dihasilkan tergantung pada kualitas bahan elektroda positif yang digunakan.
Begitu pula dengan aktivitas di sosial media. Seberapa banyak perilaku negatif mengalir dari komunitas buruk menuju kepada komunitas baik akan sangat tergantung pada seberapa kuat ilmu, pengetahuan, dan kebijaksanaan dari orang-orang yang baik. Jika kualitas tersebut besar dan kuat, maka sosial media akan menjadi potensial dan energi besar dalam menciptakan kebaikan kehidupan.
Marilah untuk tidak banyak menyia-nyiakan waktu kita untuk menggunakan media sosial sebagai aktivitas negatif, kecuali kita memang berkeinginan menjadi orang-orang yang membuat masalah dalam hidup. Senang melakukan hal-hal negatif.
Sosial media seperti halnya sebilah pisau, hanyalah sekedar alat atau media. Kita adalah eksekutor nya, apakah akan digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Sebilah pisau dapat digunakan untuk memotong wortel atau melukai orang lain, semua berpulang pada diri kita masing-masing.
Dosa kita mungkin sudah terlalu banyak, jangan diperbanyak lagi dengan aktivitas media sosial yang negatif. Berubah yuk...
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, (QS Al Mulk [67]: 1-2)
Wallahu a'lam
Ketika materi posmen (posting dan komentar) kita serius, maka orang-orang yang datang dan menyikapi cenderung serius pula. Jika posmen kita bermuatan kebaikan dan dipandang bermanfaat buat mereka, tak jarang mereka memberikan apresiasi positif, ucapan terima kasih atau bahkan pujian kepada kita.
Mungkin hanya beberapa teman saja yang tidak menyukai materi posmen positif kita karena bisa jadi materinya dianggap 'tidak mengenakan' dirinya. Persis seperti ketika kita berbagi kebaikan atau pun mencegah keburukan pada aktivitas di darat. Akan rawan distorsi jika sudah menyangkut kritikan dan kepentingan personal yang kebetulan merasa merugikannya. Padahal posmen kita mungkin saja bersifat umum dan tujuan utamanya sebagai auto kritik diri kita sendiri, bukan ditujukan pada orang tertentu.
Sebaliknya jika posmen kita bermuatan candaan, maka yang mengerumuni adalah orang-orang yang bercanda pula. Lebih buruk lagi, posmen bermuatan sindiran, cacian, dan hinaan akan mengundang orang-orang dengan sikap seperti itu pula.
Posisi kita dalam sosial media ternyata bisa dianalogikan seperti elektroda dalam sebuah sel volta. Partikel-partikel bermuatan positif akan terpolarisasi satu sama lain, begitu pula partikel-partikel yang bermuatan negatif.
Arus listrik yang dihasilkan dari sel volta disebabkan oleh elektron yang bermuatan negatif, mengalir dari elektroda negatif menuju elektroda positif. Dan akhirnya tercipta potensial sel volta. Energi listrik yang bermanfaat untuk kehidupan, seperti misalnya pada accu (aki). Seberapa besar potensial dan energi listrik yang dihasilkan tergantung pada kualitas bahan elektroda positif yang digunakan.
Begitu pula dengan aktivitas di sosial media. Seberapa banyak perilaku negatif mengalir dari komunitas buruk menuju kepada komunitas baik akan sangat tergantung pada seberapa kuat ilmu, pengetahuan, dan kebijaksanaan dari orang-orang yang baik. Jika kualitas tersebut besar dan kuat, maka sosial media akan menjadi potensial dan energi besar dalam menciptakan kebaikan kehidupan.
Marilah untuk tidak banyak menyia-nyiakan waktu kita untuk menggunakan media sosial sebagai aktivitas negatif, kecuali kita memang berkeinginan menjadi orang-orang yang membuat masalah dalam hidup. Senang melakukan hal-hal negatif.
Sosial media seperti halnya sebilah pisau, hanyalah sekedar alat atau media. Kita adalah eksekutor nya, apakah akan digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Sebilah pisau dapat digunakan untuk memotong wortel atau melukai orang lain, semua berpulang pada diri kita masing-masing.
Dosa kita mungkin sudah terlalu banyak, jangan diperbanyak lagi dengan aktivitas media sosial yang negatif. Berubah yuk...
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, (QS Al Mulk [67]: 1-2)
Wallahu a'lam