Ketika memberikan materi Termofisika dalam perkuliahan, saya selalu mengawali dengan meminta mahasiswa menggosokkan kedua telapak tangannya dan menanyakan apa yang dirasakan kedua telapak tangannya sesaat setelah digosokkan. Serentak mereka menjawab terasa hangat.
Dalam ilmu fisika, panas adalah resultan energi kinetik dari partikel-partikel penyusun suatu benda. Suatu keadaan disebut semakin panas jika resultan energi kinetik partikelnya semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya keadaan disebut semakin dingin jika resultan energi kinetiknya semakin kecil.
Tidak seperti energi potensial yang ada pada suatu benda bermassa akibat adaya gravitasi dan ketinggian, maka Energi kinetik adalah energi yang dihasilkan dari adanya gerakan benda tersebut. Energi kinetik akan bernilai nol jika benda tak bergerak, sebesar apapun massa dari benda tersebut. Energi kinetik ini dirumuskan dengan Ek = 1/2(mv^2). Kecepatan suatu benda akan sangat mempengaruhi besarnya energi kinetik yang dihasilkan. Jika anda tak percaya, silakan meminta seseorang melempar bola kasti ke badan anda dengan kecepatan tinggi dan pada kesempatan lain melempar bola basket dengan kecepatan sangat rendah. Anda akan merasakan sakit yang lebih hebat karena benturan bola kasti tersebut dengan badan anda.
Kembali ke topik panas dingin ...
Besaran fisika yang mengukur panas-dinginnya suatu keadaan atau benda dinamakan SUHU dan dinyatakan dengan satuan derajat celcius atau derajat fahrenheit. Semakin besar panas suatu benda, maka suhunya akan tinggi pula tentunya. Istilah dingin sendiri sebenarnya penyederhanaan istilah dari ketiadaan panas atau berkurangnya panas. Jadi jika suatu partikel tidak bergerak sama sekali, maka kita namakan dingin. Persis seperti seorang pria yang tidak tergerak sama sekali ketertarikannya ketika ada seorang wanita yang berulangkali tebar pesona, maka pria tersebut disebut sebagai pria dingin :) Pemahaman tentang konsep panas dingin atau suhu ini tentunya bisa menjelaskan kepada kita mengapa tatkala seorang wanita menggemgam tangan seorang pria yang dicintai maka tangannya menjadi terasa hangat. Beda halnya jika yang digenggam tangannya adalah sesama wanita.
Secara alami, keadaan Panas suatu benda bisa berubah jika benda tersebut berada di sekitar benda lain yang suhunya lebih kecil. Perpindahan ini bisa melalui konduksi, konveksi atau radiasi. Maka tidak heran jika telapak kaki kita menjadi terasa dingin ketika kita menginjak lantai yang suhunya lebih rendah dari tubuh kita. Perpindahan alami kalor (istilah untuk 'panas' yang berpindah) ini berlangsung hingga memenuhi titik kesetimbangan suhu. Jika perbedaan suhunya semakin besar, maka secara alami perpindahan kalor akan semakin lama pula. Huukum Termodinamika ke nol sudah menjelaskan tentang hal ini.
Lalu bagaimana agar kalor dapat berpindah secara lebih cepat? Tentu saja dengan memberikan suhu lingkungan yang jauh lebih kecil. Sebagai misal seorang tukang Pandai Besi akan mencelupkan pedang yang ditempanya dengan cara memasukkan ke dalam air. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwa mengharapkan perpindahan kalor secara cepat suatu benda panas dengan treatment tadi akan berisiko terhadap benda tersebut. Jika tidak dilakukan dengan perlahan dan menggunakan kaidah tertentu, maka bisa menyebabkan benda menjadi rapuh karena terjadi distorsi. Pedang seorang Pandai Besi tadi bisa menjadi rapuh jika dicelupkan langsung ke air es, bukan air biasa.
Lalu apa kaitannya panas-dingin dengan Kampung Pulo yang terkena gusuran pemerintah DKI Jakarta dibawah kepemimpinan Ahok?
Kita ketahui bersama bahwa komunitas Kampung Pulo sudah terbentuk sejak lama. Bahkan sebelum kemerdekaan republik ini. Komunitas ini membentuk perilaku sosial yang tak hanya menyangkut aspek ekonomi, namun juga aspek psikologi, budaya, kenyamanan, rasa aman, dan model interaksi sosial lainnya. Persis seperti masyarakat urban yang sudah lama tinggal di suatu komplek-komplek perumahan atau seorang dokter berprestasi yang sudah beraktivitas lama di kota besar pulau Jawa.
Apakah seorang dokter sudah cukup terpenuhi kebutuhannya ketika ia harus diwajibkan bertugas di pedalaman dengan hanya diberikan gaji yang tinggi? Bagaimana dengan keberlangsungan pendidikan anak-anaknya? Apakah Dokter tersebut mampu menikmati sisa hidupnya di pedalaman ketika berpenghasilan tinggi dan harus jauh dari anak-anaknya ketika memilih teprisah karena di pedalaman tidak ada jaminan pendidikan yang bagus untuk anak-anaknya dan menginginkan anak-anakna untuk tetap bersekolah yang mutunya sudah teruji di kota besar yang ditinggalkannya? Apakah dokter tersebut akan mudah membentuk kreasi di komunitas baru pedalaman yang selama ini mampu ia lakukan ketika berada di komunitas lamanya?
Kondisi ini persis pula yang dialami oleh masyarakat Kampung Pulo. Apa yang terjadi ketika masyarakat Kampung Pulo dipindahkan (dengan paksa) ke tempat lain? Apakah dengan ganti rugi finansial sudah cukup mewakili kebutuhan kehidupan sosial mereka? Bagaimana kelangsungan ekonominya ketika mereka harus berada jauh dari lapak-lapak dagangannya atau membuat lapak dagangan baru di tempat barunya yang disediakan pemerintah (jika disediakan)?
Perpindahan komunitas masyarakat Kampung Pulo persis halnya seperti mendinginkan pedang panas oleh tukang besi ke dalam air. Jika tidak hati-hati dan dilakukan dengan analisis yang lebih holistik maka bisa menyebabkan keretakan atau distorsi. Dan kita semua tahu, bahwa kejadian penggusuran beberapa hari lalu kembali menyisakan korban. Terjadi distorsi yang luar biasa antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah.
Logika sederhananya adalah bahwa ketika kenyataanya masyarakat masih protes keras dengan penggusuran berarti ada diskusi atau kesepakatan yang belum tuntas antara masyarakat dan pemerintah. Terjadi ketimpangan cara pikir antara masyarakat yang mengalami berpikir secara holistik dari semua aspek, sementara pemerintah hanya berpikir untung-rugi atau dari sisi ekonomi saja. Pemerintah seharusnya lebih memahami bahwa persoalan perpindahan sebuah komunitas masyarakat tidak hanya sekadar persoalan ganti rugi finansial belaka.
Masyarakat Kampung Pulo sudah lama beraktifitas. 'Energi kinetik' mereka sudah berjalan sejak lama di segala bidang. Mereka sudah berkehidupan dengan penuh kehangatan. Maka jangan memaksa mendinginkan kehangatan mereka dengan cara-cara yang menyebabkan distorsi. Benda saja jika didinginkan dengan terpaksa bisa mengalami distorsi, apatah lagi sekelompok manusia yang punya hati. Ketika kehangatan kehidupan mereka dipaksa menjadi dingin, maka hati mereka bisa terluka bahkan hancur.
Semoga saja Ahok dan jajarannya lebih mampu memahami keadaan masyarakat ploretar kelas bawah seperti masyarakat Kampung Pulo dengan cara berpikir yang lebih holistik, menganalisis dari segala aspek dan bidang. Ayo Ko Ahok, jangan kalah sama seorang Pandai Besi, lebih mudahlah berpikir menemukan solusi yang lebih efektif untuk mendinginkan masyarakat Kampung Pulo, semudah anda mengeluarkan kata-kata dalam Frase Umum Ciri Ko seperti b*****t, t*i, atau n*****g.
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS at-Taubah [9]: 71)
Kaidah input, proses, dan output disepakati di semua bidang ilmu apapun. Input adalah sesuatu yang akan diberikan perlakuan. Proses adalah aktivitas yang memberikan perlakuan. Sementara output adalah hasil dari perlakuan.
Air dingin yang dimasak akan menghasilkan air panas. Mahasiswa yang belajar di kampus akan menghasilkan sarjana. Air dingin dan mahasiswa adalah input, memasak dan belajar adalah proses, sementara air panas dan sarjana adalah output.
Input yang baik jika diproses dengan cara yang baik, maka akan menghasilkan output yang baik pula. Input yang baik jika diproses dengan cara yang jelek, maka akan menghasilkan output yang tidak lebih baik.
Sebaliknya, input yang jelek jika diproses dengan baik maka akan menghasilkan output yang lebih baik. Input yang jelek jika diproses dengan jelek maka akan menghasilkan output yang semakin jelek.
Begitu pula halnya dengan Pilpres baru lalu. Konstituen atau pemilh dapat diibaratkan sebagai input. Sementara proses pemilu seperti penentuan DPT, pencoblosan, dan rekapitulasi dilakukan oleh KPU. Outputnya adalah hasil pemilu.
Anggaplah para pemilih yang tak lain seluruh masyarakat adalah input yang baik. Jika KPU sebagai penyelenggara tidak melakukan proses pemilu yang baik, maka hampir dipastikan hasil pemilu akan jelek pula. Artinya produk pemimpin yang dihasilkan adalah pemimpin yang jelek.
Sebaliknya, jika KPU melakukan proses pemilu yang baik, maka hasil pemilu akan menjadi baik pula dan menelurkan seorang pemimpin yang baik.
Seberapa baik KPU melakukan proses pemilu kali ini? Saya yakin semua dari kita sudah dapat menilainya. Kita bisa melakukan analisis komparasi dengan penyelenggaraan pemilu-pemilu sebelumnya.
Semoga kualitas KPU dalam penyelenggaraan pemilu ke depan semakin lebih baik agar bangsa ini dapat dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Dan pemilu yang baik itu adalah pemilu yang penuh kejujuran dan keadilan.
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (Al Muthaffifiin [83]: 1-3)
wallahu a'lam...
ILMU KEALAMAN TERBATAS
~ Menyikapi cibiran kaum sekuler terhadap Ustadz Yusuf Mansur ~
Sekitar 2010 silam, saya pernah mengisi sebuah kajian tentang fenomena 'penampakan' atau 'uka-uka' yang saat itu sedang ramai diperbincangkan karena ada tayangan beberapa stasiun TV terkait acara tersebut.
Konsentrasi kajian tersebut bukan pada dampak yang ditimbulkan akibat adanya tayangan, tapi lebih kepada ada atau tidaknya alam gaib (tak kasat mata) dan bagaimana cara membuktikannya dari sudut pandang ilmu kealaman (sains).
Paparan saya awali dengan sebuah pertanyaan ke forum: "Apakah anda percaya ada sinyal hand phone (GSM) di sekitar anda?"
Serentak peserta kajian menjawab: "Percayaa!!".
Lalu saya melanjutkan pertanyaan: "Bisa anda tunjukkan sinyal hand phone tersebut?" Semua peserta kajian langsung memperlihatkan indikator sinyal pada layar hand phone masing-masing.
"Bisa kah anda perlihatkan langsung dengan mata anda seperti apa bentuk sinyal hand phone tersebut di udara?", tanya saya selanjutnya menimpali jawaban mereka.
Mereka semua tertawa seraya menjawab: "Gak bisa dan gak mungkin mas. Gak Kelihatan!".
Dalam ilmu fisika, fenomena-fenomena alam tersebut diterjemahkan dengan istilah BESARAN. Besaran untuk menjelaskan perbedaan posisi dinamakan PANJANG. Besaran untuk menjelaskan 'berat' suatu benda dinamakan MASSA. Besaran yang digunakan untuk mejelaskan lama atau tidaknya suatu kondisi dinamakan WAKTU. Besaran untuk menjelaskan panas dinginnya suatu keadaan atau benda dinamakan SUHU, dan seterusnya.
Semua besaran dalam definisi ilmu fisika harus memiliki alat ukur dan memiliki satuan. Panjang diukur dengan mistar dan bersatuan meter, massa diukur denagn neraca dan bersatuan kilogram, waktu diukur dengan jam dan bersatuan detik, atau suhu diukur dengan termometer dan bersatuan derajat. Jika sebuah fenomena alam tidak mampu diukur dengan alat ukur maka tidak bisa dikatakan sebagai besaran, misalnya rasa cinta.
Sekarang mari kita renungkan sejenak kenyataan dalam peristiwa dialog kajian di atas. Sebenarnya kita semua percaya bahwa ada keterbatasan pada diri kita dalam melihat dan menjelaskan fenomena alam hanya dengan kasat mata atau panca indera kita secara umum. Oleh karenanya kita memerlukan alat ukur tersebut dalam membaca fenomena alam tersebut.
Panca indera kita sangatlah subyektif dalam menilai atau mengukur sesuatu. Setap orang bisa berbeda dalam mendefinisikan tinggi seseorang misalnya. Sebagai misal, Pak Jokowi bagi orang Indonesia dianggap berbadan tinggi. Tapi coba tanyakan ke Cristiano Ronaldo, dia akan bilang Pak Jokowi pendek. Mengapa bisa berbeda? Karena acuan masing-masing orang berbeda dalam mengukur. Ini yang dinamakan subyektivitas. Jangankan pada dua orang yang berbeda, badan kita sendiri pun akan subyektif dalam mengukur sesuatu dalam kondisi berbeda. Sebagai contoh: jika ada tiga ember masing-masing air berisi air hangat, air normal (suhu kamar), dan air dingin. Tangan kiri kita masukan ke air hangat sementara tangan kanan kita masukan ke air dingin selama 1 menit. Kemudian pindahkan tangan kiri kita ke ember yang berisi air normal, maka kita akan mengatakan air tersebut dingin. Saliknya ketika tangan kanan kita yang dipindahkan ke air normal, maka kita akan mengatakan bahwa air normal tersebut hangat.
Tapi amat berbeda jika orang Indonesia atau orang Jerman mengukur tinggi badan Jokowi dengan meteran tukang jahit, mereka akan mengukur dengan hasil yang sama. Atau ketika tangan kiri dan tangan kanan kita mengukur suhu pada air normal dengan termometer, maka akan menghasilkan suhu yang sama pula.
Memahami kondisi tersebut, maka amat naif jika kita tidak mempercayai hal-hal yang kita anggap 'gaib'. Tuhan kita adalah dzat (bukan zat) yang gaib. Begitu pula dengan takdir kita, adalah sesuatu yang gaib pula. 'Melihat' nya harus dengan alat ukur tersendiri. Orang-orang yang terbiasa mengikuti ajaran Tuhan akan mampu 'melihat' dan 'merasakan' kehadiran Nya, sementara yang jauh dari ajaran Tuhan akan kesulitan.
Kejadian banyaknya orang yang mencibir keyakinan Ustadz Yusuf Mansur dalam hal 'mengendalikan' dolar melalui kekuatan doa seperti yang dilakukan oleh orang sekelas Denny JA, adalah pemandangan yang umum berkaitan dengan paparan di atas. Mereka mengukur sesuatu hanya dengan ilmu kasat mata seperti ilmu-ilmu ekonomi, fisika atau kealaman yang lain. Mereka tidak membacanya dengan menggunakan ilmu-ilmu kewahyuan. Padahal mereka sendiri yakin bahwa ada kondisi-kondisi tertentu yang tidak bisa kita baca dengan teori ilmu kealaman yang akhirnya kita menggunakan kata 'ajaib'. Padahal ilmu kita belum nyampe.
Kita percaya bahwa dalam perjalanan hidup tidak semua atau bahkan banyak sekali keinginan dan perhitungan yang berasal dari otak kita tidak terwujud. Di sisi lain, dalam setiap ikhtiar yang kita lakukan secara maksimal, kita juga melakukan doa kepada Tuhan yang gaib. Artinya sebenarnya kita sendiri mengakui bahwa diri dan ikhtiar kita terbatas, dan ada kekuatan Maha Dahsyat Yang berperan dalam setiap kejadian dalam hidup. Upaya kita hanyalah 'sebagian kecil' dari terjadinya sesuatu. So, masihkah kita 'mencibir' kekuatan sebuah doa hanya karena logika otak kita belum mampu memahami dan menerimanya?
Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS al A'raaf [7]: 188)
Wallahu a'lam
Oksidasi dalam ilmu kealaman adalah interaksi antara molekul oksigen dan semua zat yang berbeda. Oksidasi merupakan pelepasan elektron oleh sebuah molekul, atom, atau ion.
Kadang-kadang oksidasi bukan hal yang buruk, seperti dalam pembentukan aluminium anodized super tahan lama. Sisi lain, oksidasi dapat merusak, seperti karat dari sebuah mobil atau merusak buah segar.
Dalam kasus besi, oksigen ini akan membuat proses pembakaran yang lambat, yang menghasilkan substansi berwarna coklat yang rapuh yang disebut karat. Ketika oksidasi terjadi pada tembaga, di sisi lain, hasilnya adalah lapisan oksida tembaga berwarna kehijauan.
Jika oksigen diibaratkan sebagai 'pesan kebaikan' kepada hati kita, maka proses oksidasi hati bisa dianalogikan sebagai pengaruh pesan kebaikan pada kita. Jika hati kita mampu menerima pesan kebaikan itu dengan baik, maka keimanan menjadi semakin kuat seperti halnya alumunium anodized tadi. Dan bersyukurlah kita dengan hal ini.
Namun sebaliknya jika pesan kebaikan malah membuat hati kita menjadi semakin tak betah dan keras, maka oksidasi terus menerus bisa jadi akan membuat hati kita menjadi semakin 'berkarat'. Maka dianjurkan untuk meninggalkan orang-orang yang hatinya sudah keras dan 'berkarat' tersebut agar kita tidak menyia-nyiakan waktu atau bahkan tergelincir dengan orang-orang tersebut.
Satu hal yang perlu diingat adalah perilaku keliru yang berulang dapat menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan dapat menjadi kewajaran. Jika sudah menjadi wajar maka bisa bergeser kepada pembenaran.
Maka, berhati-hatilah terhadap setiap keadaan yang memungkinkan terjadinya oksidasi yang mengusamkan hati. Karena kita tak kan pernah tahu kapan ajal akan menjemput atau kapan azab Allah SWT berlaku pada diri di masa datang hingga kita menjadi tersadar akan segala kekeliruan yang ada.
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (QS al-Baqarah [2]: 8-10)
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (QS an-Nisa'[4]:63)
Wallahu a'lam ...